Oleh: Dahlan Iskan
BANYAKNYA calon menteri dan wakil yang dipanggil presiden terpilih Prabowo Subianto merangsang kreasi tukang ejek.
Ada yang mengatakan itu “Kabinet Gemoy”. “Kabinet Fufufafa”. “Kabinet 100 Menteri”. Belum ada yang bilang itu “Kabinet 1000 Menteri”.
Waktu Presiden Bung Karno membentuk Kabinet Dwikora II, jumlah menterinya juga banyak sekali. Saking banyaknya juga menimbulkan ejekan.
Yang anti Bung Karno menyebut itu “Kabinet 100 Menteri”. Padahal jumlahnya hanya 84. Atau 86. Sebutan 100 menteri hanya untuk menunjukkan saking banyaknya.
Itu jauh dari jumlah yang sudah dipanggil Prabowo: 109 orang. Kalau disebut “Kabinet 100 Menteri” harusnya bukan ejekan. Kenyataan. Justru sudah dikecil-kecilkan.
Padahal yang 84 orang di zaman Bung Karno itu tepatnya “hanya” 77 nama. Bahwa jadi 84 itu karena banyak yang satu nama masuk di beberapa jabatan.
Bung Karno sendiri, misalnya, menjadi presiden merangkap perdana menteri. Dr Soebandrio menjabat wakil perdana menteri I merangkap menteri luar negeri.
Dr Johannes Leimena merangkap tiga jabatan: wakil perdana menteri II, menko distribusi, dan menteri perguruan tinggi / ilmu pengetahuan.
Baru 77 orang saja sudah diejek sebagai “100 menteri”. Maka kalau nanti jadi 109 orang harusnya ada julukan yang lain.
Atau jangan-jangan tidak jadi 109 orang. Kita lihat sore ini, ketika nama-nama menteri diumumkan. Atau nanti malam. Atau besok pagi.
Bisa jadi justru lebih 109 orang. Letjen Pur Sjafrie Syamsuddin belum termasuk yang dipanggil –karena sudah hampir tiap hari bertemu.
Jenderal Pol Budi Gunawan juga belum termasuk yang dipanggil –mungkin tunggu izin Ibu Megawati Soekarnoputri.
Menyusun kabinet memang tidak mudah. Pun kalau penyusunan itu diserahkan ke Anda. Harus punya banyak pertimbangan.
Semua suku besar harus diwadahi.
Semua golongan terwakili.
Semua aliran tertampung.
Semua agama.
Semua profesi.
Orang luar dan dalam. Musuh apalagi kawan. Batak dan Dayak.
Pribumi nonpribumi.
Tua muda.
Pusing.
Yang selalu ada sejak dulu: Jawa, Sunda, Batak, Minang, Makassar, Aceh, Bali, dan NTT. Di kabinet apa pun. Presiden siapa pun.
Pun ketika Bung Karno membentuk “Kabinet 100 Menteri”. Banyaknya menteri bertujuan untuk merangkul sebanyak mungkin spektrum.
Waktu itu bangsa lagi terancam pecah: pro Soekarno dan anti Soekarno. Itu akibat peristiwa G30S/PKI yang terjadi tiga atau empat bulan sebelumnya.
Bung Karno saat itu masih menjabat presiden tapi praktis tidak punya kekuasaan. Perintahnya tidak didengar. Keputusannya tidak dijalankan.
Di lapangan Pak Hartolah yang berkuasa –dengan pangkat “hanya” mayor jenderal tapi mengendalikan tentara sepenuhnya.
Bung Karno masih berusaha untuk kembali berkuasa dalam arti yang sesungguhnya. Pembentukan Kabinet Dwikora II adalah salah satu upaya untuk kembali mengambil kekuasaan itu.
Tentu ada pihak yang tidak ingin Bung Karno mendapatkan kekuasaannya lagi. Ejekan “Kabinet 100 Menteri” adalah salah satu cara untuk “merusak” nama baik kabinet itu –kebetulan memang banyak yang namanya tidak baik.
Akhirnya kabinet 100 Menteri tersebut memang tidak bisa bekerja –tidak punya waktu.
Ketika kali pertama akan dilakukan sidang kabinet, banyak menteri tidak bisa masuk istana.
Ada yang ditangkap. Ada yang dihambat.
Yang sudah berhasil masuk Istana pun kabur. Terbirit-birit.
Soebandrio sampai lari tidak pakai sepatu –ketinggalan di ruang sidang.
Di Monas, depan Istana, sudah penuh dengan tentara. Dihembuskan kabar yang tidak jelas: istana akan diduduki.
Bung Karno diungsikan ke Istana Bogor. Selebihnya Anda sudah tahu: di Bogor Bung Karno didatangi tiga jenderal.
Keluarlah yang di sekolah Anda baca bukunya: Supersemar. Surat Perintah 11 Maret. Bung Karno menunjuk Pak Harto untuk mengatasi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Itulah perintah yang membuat Bung Karno sendiri tidak aman.
Kekuatan yang anti Soekarno sebenarnya masih besar. Pasukan “hidup-mati nderek Bung Karno” juga sangat besar. Jauh lebih besar dari Pasukan Berani Mati yang gak jadi bergerak bulan lalu.
Semua sudah jadi sejarah.
Sebagian tetap jadi pelaku sejarah.
Kita tunggu pengumuman susunan kabinet baru sebentar sore. Dulu-dulu calon menteri dipanggil setelah presiden terpilih dilantik. Tepatnya, ditelepon.
Kali ini pemanggilan sudah mulai dilakukan tiga hari sebelum pelantikan. Tidak ada masalah. Presiden baru pakai cara baru. Wajar. Bisa lebih cepat bekerja.
Pekerjaan pertama kelihatannya kumpul di Magelang. Tepatnya di “kawah candradimuka”. Di lembah Gunung Tidar. Di kampus akademi militer –almamater Prabowo.
Di kawah candradimuka itulah jiwa cinta negara, 爱国, dibentuk. Secara militer.
Gunung Tidar dalam kepercayaan Jawa disebut juga “paku bumi”. Bumi Jawa.
Kalau tidak ada Tidar yang ditancapkan di Magelang, kata kepercayaan itu, pulau Jawa akan miring ke kiri. Atau ke kanan. Atau rontok seperti atap yang tidak dipaku.
Prabowo sangat cinta negara setelah tiga tahun digembleng di Lembah Tidar.
Para menteri itu akan digembleng hanya selama tiga hari. Kalau nanti masih ada yang tidak 爱国, masih korupsi, mungkin perlu dikirim ke situ lagi tiga tahun. (Dahlan Iskan)