IKNPOS.ID – Belum lama ini Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan kerjasama (MoU) dengan 4 operator telekomunikasi besar di Indonesia. Tujuannya mempermudah proses penyadapan. Tentu saja alasannya terkait upaya penindakan hukum.
Alhasil, kerjasama tersebut menuai perdebatan panas dan kecaman keras dari koalisi masyarakat sipil.
Kejagung sendiri bersikeras langkah ini bertujuan memfasilitasi akses tim penyidik terhadap data dan informasi secara legal.
Namun, tetap saja menimbulkan kekhawatiran serius akan potensi pelanggaran hak privasi warga negara yang dijamin konstitusi.
Koalisi masyarakat sipil melihat inisiatif ini sebagai ancaman nyata terhadap perlindungan hak atas privasi warga negara.
Tanpa pengawasan ketat, aturan yang jelas, dan batasan yang tegas, kerja sama ini berpotensi melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta hak atas rasa aman.
Lebih jauh, para pegiat hukum menyoroti celah-celah regulasi penyadapan di Indonesia yang terkesan parsial dan berisiko pada penyalahgunaan wewenang.
Apakah kerja sama ini benar-benar demi penegakan hukum yang lebih baik, atau justru membuka pintu bagi pengawasan sewenang-wenang terhadap warga sipil?
1. Kejagung & Ancaman Terhadap Hak Privasi
Koalisi masyarakat sipil menyoroti kerja sama penyadapan antara Kejagung dan operator telekomunikasi berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara.
Pelanggaran Konstitusi dan HAM:
- Koalisi, yang mencakup lembaga-lembaga seperti Raksha Initiatives, Dejure, Centra Initiative, Imparsial, HRWG, ELSAM, dan ICJR, menilai langkah ini berpotensi melanggar konstitusi, khususnya Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pasal ini secara eksplisit menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak atas rasa aman.
- Mereka menegaskan praktik penyadapan hanya dimungkinkan secara sah (lawful) dengan alasan keamanan nasional atau penegakan hukum, sepanjang memenuhi kaidah dan prinsip pembatasan (permissible restriction) yang diakui secara internasional.
Batasan Wewenang Penyadapan yang Dilanggar:
- Pasal 30C UU No. 11/2021 (UU Kejaksaan) telah memberikan batasan tegas dan limitatif terkait wewenang penyadapan, yaitu harus didasarkan pada undang-undang khusus yang mengatur penyadapan dan hanya terkait penanganan tindak pidana.
- Koalisi menemukan materi MoU antara Kejagung dan operator telekomunikasi tidak secara ketat mengatur durasi atau jangka waktu penyadapan, maupun otorisasi atau proses perizinan yang jelas dalam melakukan tindakan tersebut. Celah ini membuka ruang penyalahgunaan.
Melanggar UU Telekomunikasi:
- Pentingnya Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ditekankan, yang menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”. Ini berarti, tanpa memenuhi persyaratan dan prosedur yang ketat, penyadapan yang melibatkan operator telekomunikasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
2. Risiko Penyadapan Sewenang-wenang
Pakar hukum dan pegiat privasi menyoroti risiko penyadapan tanpa izin pengadilan dan potensi pelanggaran prinsip perlindungan data pribadi.
Risiko Tanpa Izin Pengadilan:
- Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menegaskan akses langsung terhadap data telekomunikasi dan praktik penyadapan tanpa pengawasan ketat dan izin pengadilan berpotensi melanggar hak privasi individu.
- Ini mengancam prinsip legalitas dan kebebasan sipil, karena membuka celah penyadapan dilakukan tanpa persetujuan eksplisit dari pemilik data.
Potensi Penyalahgunaan Data:
- Nenden memperingatkan adanya potensi data digunakan untuk memantau, membungkam, atau menekan oposisi, aktivis, maupun jurnalis. Ini menjadi kekhawatiran serius di negara demokrasi.
- Jika pertukaran data dan penyadapan hanya berdasarkan Nota Kesepakatan atau “kebutuhan organisasi” tanpa prosedur izin pengadilan yang ketat untuk setiap kasus individu, hal ini akan membuka celah penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran privasi warga secara sewenang-wenang.
Bertentangan dengan UU PDP:
- Dari perspektif perlindungan data pribadi, kebijakan ini berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip mendasar dalam Undang-Undang Nomor 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), seperti persetujuan, transparansi, dan minimasi data.
- Masyarakat tidak diberikan penjelasan mengenai berapa lama data akan disimpan dan bagaimana data yang tidak lagi relevan akan dihapus, yang merupakan poin penting dalam UU PDP.
3. Regulasi Penyadapan di Indonesia
Ketiadaan regulasi tunggal dan standar yang seragam untuk penyadapan di Indonesia menjadi masalah fundamental yang disoroti.
Regulasi Parsial dan Tidak Seragam:
- Peneliti bidang hukum dan regulasi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh, menyoroti belum adanya regulasi tunggal yang mengatur secara menyeluruh praktik penyadapan di Indonesia.
- Saat ini, penyadapan diatur dalam berbagai regulasi sektoral yang melekat pada masing-masing lembaga penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, KPK). Namun bersifat parsial dan belum memenuhi prinsip keseragaman serta akuntabilitas.
- “Regulasi penyadapan di Indonesia hari ini sifatnya parsial semua. Polisi jalan dengan mekanismenya sendiri, KPK jalan dengan mekanismenya sendiri, Kejaksaan jalan dengan mekanismenya sendiri. Ada kecenderungan abuse karena standar yang berbeda-beda,” ungkap Saleh.
Penyadapan Harus Demi Proses Hukum (Pro Justitia):
- Mengacu pada UU ITE dan UU Kejaksaan, praktik penyadapan hanya dibenarkan untuk kepentingan proses hukum atau pro justitia. Penyadapan tidak boleh digunakan untuk keperluan di luar penegakan hukum, apalagi secara sewenang-wenang tanpa dasar yang sah.
- “Jika tidak ada upaya untuk melakukan penyadapan hukum, misalkan tidak ada indikasi tindak pidana, tidak ada indikasi orang itu akan lalai atau mengaburkan alat bukti dan barang bukti, dia tidak perlu ada penyadapan,” tegas Saleh.
Urgensi RUU Penyadapan:
- Pola kerja sama Kejagung dengan operator telekomunikasi, yang disebut Saleh sebagai “pendekatan baru,” memperkuat urgensi RUU Penyadapan untuk segera dibahas. RUU ini diharapkan dapat memastikan adanya standar baku yang berlaku lintas institusi dalam praktik penyadapan, bukan berdasarkan diskresi penyidik.
- Ketiadaan kepastian hukum penyadapan makin kompleks dengan adanya 12 undang-undang yang memberikan kewenangan pengawasan bagi institusi keamanan, intelijen, dan penegak hukum, dengan batas kewenangan dan prosedur yang berbeda-beda.
4. Kewajiban Operator Telekomunikasi
Operator telekomunikasi memiliki tanggung jawab hukum di bawah UU PDP. Koalisi masyarakat sipil mendesak pembatalan MoU serta percepatan RUU Penyadapan.
Operator Bukan Pemilik Data:
- Saleh dari CELIOS menekankan bahwa operator telekomunikasi sebagai pelaku usaha wajib tunduk pada UU PDP. Mereka bukan pemilik data pelanggan dan tidak dapat serta merta menyerahkan atau membagikan data pelanggan hanya karena adanya MoU.
- “Operator juga wajib melakukan pengelolaan dan manajemen data yang dilindungi oleh Undang-Undang PDP. Maka harus clear dulu pertukaran data ini apa. Dan kenapa harus menarik provider,” terang Saleh.
Transparansi dan Izin Pengadilan:
- Nenden dari SAFENet menyoroti tanggung jawab penyedia layanan telekomunikasi untuk bersikap transparan kepada pelanggannya. Mereka harus memberitahukan data apa saja yang diberikan kepada kejaksaan dan bagaimana penentuan “kepentingan penegakan hukum” akan dilakukan.
- “Ini harus ada keputusan pengadilan yang menyatakan seseorang bisa ditentukan boleh disadap atau tidak. Karena jika tidak ada dasarnya, maka rentan disalahgunakan untuk setiap orang yang dianggap ‘berbahaya’ oleh negara,” jelasnya.
Desakan Pembatalan MoU:
- Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kejagung untuk segera membatalkan nota kesepakatan penyadapan dengan operator telekomunikasi. Alasannya MoU tersebut dinilai bertentangan secara eksplisit dengan Pasal 40 UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi dan asas “causa yang halal” dalam KUHPerdata.
- Selain itu mendesak Presiden dan DPR untuk menyegerakan pembahasan RUU tentang Penyadapan demi menjamin kepastian hukum, serta merumuskan prosedur penyadapan dalam materi revisi UU Hukum Acara Pidana (KUHAP).
5. Kejagung Berdalih untuk Lacak Buronan
Di tengah gelombang kritik, Kejaksaan Agung memberikan pembelaan, menjelaskan tujuan dan dasar hukum dari kerja sama penyadapan ini.
Memudahkan Akses Data untuk Penyelidikan:
- Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Reda Manthovani, menjelaskan kerja sama ini akan memudahkan tim penyidik mengakses data dan informasi yang bersifat terbatas, serta mempermudah penyadapan informasi secara legal sesuai ketentuan perundang-undangan.
- Reda menegaskan kolaborasi ini penting untuk proses penegakan hukum, khususnya dalam menghadirkan informasi yang kredibel untuk pengejaran pelaku kejahatan, terutama buronan.
Pelacakan Buronan dan Dasar Hukum:
- Dia mencontohkan bagaimana dukungan operator telekomunikasi memungkinkan pelacakan keberadaan buronan melalui sinyal telekomunikasi secara real time, bahkan hingga rekaman komunikasi terakhir.
- Reda juga memastikan kerja sama ini diatur dalam Pasal 30B UU Nomor 11 tahun 2021 (UU Kejaksaan RI), yang memberikan kewenangan kepada bidang intelijen kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan demi kepentingan penegakan hukum.
Manfaat untuk Kemajuan Penegakan Hukum:
- “Dengan adanya kerja sama ini, kami yakin dan percaya kolaborasi antara Kejaksaan RI dan penyedia jasa telekomunikasi dapat memberikan manfaat bagi kemajuan penegakan hukum di Indonesia,” ujar Reda.
Perdebatan ini menyoroti dilema antara kebutuhan penegakan hukum yang efektif dan perlindungan hak privasi warga negara.