MUSIM Musim ganti direksi BUMN sedang berlangsung. Juga ganti komisaris.
Bulan Juni memang batas akhir pelaksanaan rapat umum pemegang saham (RUPS) perusahaan. UU Perseroan Terbatas (PT) menentukan itu. Tidak boleh lewat tanggal 30 Juni setiap tahunnya.
Dalam RUPS seperti itulah biasanya sekaligus diputuskan apakah ada direksi dan komisaris yang perlu diganti. Maka belakangan ini, setiap hari kita dibombardir berita siapa jadi direktur apa. Siapa yang diberhentikan. Siapa yang diangkat.
Ada juga orang yang jeli. Mereka menghitung: sudah berapa tentara yang masuk jajaran komisaris dan direksi BUMN. Ada juga yang mencatat: sudah berapa lulusan SMA Taruna Nusantara yang bersinar.
Yang juga jadi sorotan: para wakil menteri menjadi komisaris di berbagai BUMN. Ini tidak baru. Sejak dulu juga begitu. Maka banyak wakil menteri yang gajinya lebih besar dari menteri.
Gajinya sebagai wakil menteri sendiri amatlah kecil. Tapi gajinya sebagai komisaris, utamanya di BUMN besar, bisa tiga kali lebih besar dari gaji wakil menteri.
Waktu itu pun saya tidak iri melihat gaji wakil menteri saya lebih besar dari gaji saya sebagai menteri. Kan ia tidak punya penghasilan lain selain dari wakil menteri dan komisaris.
Sedang saya, meski gaji sebagai menteri amat kecil, Rp 19 juta, masih punya penghasilan dividen dari berbagai saham saya.
Suatu saat saya memanggil seorang wakil menteri di kementerian tertentu. Ia baru saja diangkat sebagai wakil menteri. Ia dosen. Seorang ahli. Guru besar. Doktor. Dari kampus terkemuka di tanah air. Gajinya di kampus bisa lebih besar dari gaji seorang wakil menteri.
Dalam pembicaraan empat mata, saya sampaikan bahwa ia akan saya angkat menjadi komisaris di BUMN besar, sesuai dengan bidang keilmuan tekniknya.
Saya pun bertanya kepadanya: apakah Anda bisa menduga mengapa saya angkat menjadi komisaris di BUMN X?
Ia menyerahkan jawaban itu ke saya. Maka saya sampaikan kepadanya: “Agar Prof tidak korupsi,” kata saya. Dengan gaji wakil menteri saya khawatir ia tergoda untuk korupsi. Gajinya kecil sekali. Tidak sampai Rp 15 juta. Padahal kementeriannya sangat-sangat basah.