SAMBIL menatap patung Budha di atas gunung di Shanxi, konsentrasi pikiran saya ke pusat riset kereta 1000 km/jam. Di manakah gerangan? Begitu sulit cari informasi. Saya ingin tahu apakah benar Tiongkok akan membangun jaringan kereta yang lebih cepat dari pesawat Boeing 777.
Waktu untuk mencari kian sempit. Dua hari sudah terlewatkan dengan hampa. Besok sudah harus kembali ke Beijing. Tinggal punya waktu sore itu. Atau besok paginya.
Kesabaran masa kini pun membuahkan hasil. Di gunung itu saya dipertemukan dengan seorang sopir. Ia biasa mengantar turis. Ia tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi bahasa Mandarinnya mudah dipahami: tidak tercampur logat daerah.
Ia tahu di mana pusat riset itu!
Ia lulusan ”IKIP” di kota Datong. Ia lahir dan besar di kota itu. Ia bangga dengan Datong. Ia bercerita bahwa Datong pernah jadi ibu kota salah satu kekaisaran di Tiongkok.
Buktinya: tembok kota tuanya yang sangat luas itu.
“Di mana lokasi pusat riset itu?”
“Jauh sekali. Di luar kota. Dua jam dari kota Datong,” jawabnya.
Saya pun berhitung waktu: pulang pergi empat jam. Sempat. Harus. Itulah tujuan utama saya ke Datong. Kalau perlu tunda kepulangan ke Beijing. Atau geser ke kereta cepat yang lebih petang.
Satu setengah juta rupiah lagi hilang. Itulah yang ia minta untuk mengantar saya ke sana.
Maka pagi-pagi kami berkendara ke arah timur. Mobilnya seperti Innova, merknya Buick. Sebelum Tiongkok mampu memproduksi mobil sendiri mobil Amerika seperti Buick sangat laris di sana.
Di sepanjang jalan kami ngobrol apa saja. Saya banyak bertanya tentang yang saya lihat: petani yang lagi menggarap tanah itu akan tanam apa.
“Mereka akan tanam kentang”.
“Kalau yang di sana…?”
“Kentang”.
“Di lereng gunung itu?”
“Kentang”.
“Kentang untuk apa saja?”
“Untuk mi. Mi kentang. Di sini masakan mi-nya terkenal. Harus coba,” katanya.
Kami terus melaju ke arah timur. Sudah lebih 100 km. Jalannya aspal bagus. Kecil. Satu mobil ke arah sana, satu mobil ke arah sini. Sepanjang perjalanan hanya ada kentang dan kebun buah –mirip apel tapi kecil-kecil.