IKNPOS.ID – Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang digadang-gadang menjadi simbol masa depan Indonesia ternyata masih menghadapi hambatan serius, terutama dalam hal pendanaan lewat skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Wakil Ketua Umum Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Dhony Rahajoe, yang juga mantan Wakil Kepala Otorita IKN, mengungkapkan fakta mengejutkan, pengusaha enggan diajak investasi di IKN lewat skema KPBU karena takut dijerat kasus korupsi.
Skema KPBU Ditolak, Pengusaha Trauma Pasal Tipikor
Dalam acara Creative Infrastructure Financing yang digelar Kementerian PUPR, Selasa (3/6/2025), Dhony bercerita soal pengalamannya saat melakukan roadshow ke sejumlah pengusaha papan atas di Indonesia para pemain besar yang disebut menguasai hingga 80% ekonomi nasional.
Alih-alih antusias, hampir seluruh pengusaha yang dia temui menyatakan penolakan untuk terlibat dalam proyek IKN lewat skema KPBU.
“Semuanya menolak KPBU, takut nanti diaudit, ada pasal tipikor yang menurut mereka adalah pasal karet,” ujar Dhony blak-blakan.
Yang dimaksud sebagai “pasal karet” adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang memuat ancaman pidana bagi siapa pun yang merugikan keuangan negara, baik secara langsung maupun lewat penyalahgunaan kewenangan.
Pasal Tipikor Dinilai Tidak Ramah terhadap Keputusan Bisnis
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa siapa pun yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum dan menyebabkan kerugian negara bisa dihukum minimal 4 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Sementara Pasal 3 bahkan mengancam dengan hukuman seumur hidup, jika seseorang menyalahgunakan kewenangannya demi keuntungan pribadi atau pihak lain.
Hal ini, menurut Dhony, menjadi dilema besar bagi badan usaha. Di satu sisi, pemerintah mengajak kerja sama. Tapi di sisi lain, tidak ada jaminan hukum yang melindungi pengambil keputusan bisnis.
“Langsung saja ditangkap, tidak ada prosesnya atau business judgment rule,” kata Dhony.
Ia menyoroti tidaknya adanya doktrin hukum Business Judgment Rule (BJR) di Indonesia padahal BJR umum digunakan di berbagai negara maju untuk melindungi direksi dari tuntutan hukum atas keputusan bisnis, selama tidak ada unsur niat jahat.