IKNPOS.ID – Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, pada Sabtu 16 Agustus 2025. Ia merupakan terpidana kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Pembebasan bersyarat ini menuai sorotan publik. Praswad Nugraha, mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai bahwa pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap pelaku korupsi kelas berat harus dilakukan secara sangat selektif dan ketat.
Menurut Praswad, Setnov awalnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara pada 2018. Namun, perjalanan hukumannya diwarnai berbagai keringanan, mulai dari peninjauan kembali (PK) hingga akhirnya memperoleh pembebasan bersyarat.
“Akumulasi keringanan ini bisa menciptakan preseden buruk. Masyarakat bisa menafsirkan bahwa koruptor kelas berat pun bisa ‘mengakali’ sistem hukum untuk mendapatkan kebebasan lebih cepat,” ujarnya, Senin 18 Agustus 2025.
Ia menegaskan, tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai extraordinary crime seharusnya diperlakukan berbeda dari kejahatan umum.
Praswad menilai bahwa syarat pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi harus jelas, transparan, dan akuntabel.
“Apakah pelaku telah kooperatif mengembalikan kerugian negara, menunjukkan penyesalan nyata, serta berkontribusi positif selama menjalani pidana? Itu harus menjadi indikator utama,” katanya.
Tanpa adanya standar ketat, lanjutnya, kebijakan ini berpotensi dipersepsikan sebagai kompromi terhadap kejahatan luar biasa.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menegaskan bahwa pemberian pembebasan bersyarat bukan kewenangan lembaganya.
“KPK hanya berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi putusan pengadilan. Setelah itu, kewenangan sepenuhnya ada di Direktorat Pemasyarakatan (Ditjenpas),” ujar Tanak.
Ia menambahkan, polemik yang muncul akibat kebijakan bebas bersyarat memang tidak bisa dihindari. “Itu konsekuensi berbangsa dan bernegara. Ada yang setuju, ada juga yang tidak,” jelasnya.
Seperti diketahui, Setnov divonis bersalah dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP dengan kerugian negara Rp2,3 triliun. Pada 2018, ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, serta uang pengganti USD 7,3 juta (dikurangi Rp5 miliar yang dititipkan).