Saya tidak kabur. Belum. Masih jinak di Madinah. Istri saya sudah beberapa kali bertanya: hari ini kabur dulu ke mana. “Ke masjid,” jawab saya.
Paling hanya jalan-jalan ke sekitar Masjid Nabawi. Lihat-lihat pembangunan kota Madinah. Badan Otorita Pembangunan Wilayah Madinah lagi membangun di mana-mana. Termasuk kota baru di sekitar stasiun kereta cepat.
Rasanya hanya di Arab Saudi ini yang kecepatan perubahan fisik kotanya mengalahkan Tiongkok –setidaknya sama cepatnya.
Dan itu tidak hanya di Madinah. Saat saya kabur ke berbagai kota di Saudi tahun lalu derap pembangunan itu terlihat di mana-mana. Gayanya juga mirip di Tiongkok. Bongkar sana bongkar sini. Bagian-bagian kumuh dibongkar. Dibangun.
Awalnya bangunan-bangunan baru terlihat sudah jauh lebih bagus dari kekumuhan yang lama. Tapi lima tahun kemudian yang baru itu pun dibongkar lagi. Atau 10 tahun. Dibangun yang lebih baru lagi. Yang lebih memenuhi syarat standar bangunan tinggi yang modern.
Anda yang sering ke Makkah dan Madinah bisa merasakan perubahan-perubahan itu. Hotel yang dulu jelek dibongkar. Tahun berikutnya sudah berdiri hotel baru.
Meski hotel baru itu sudah terlihat lebih modern, Anda tetap merasakan sisa-sisa tidak modernnya: wastafel buntu, air kamar mandi ke mana-mana, dan tata letak kamar mandinya yang masih asal-asalan.
Maka hotel seperti itu umurnya tidak lama. Lima tahun berikutnya Anda tidak bisa lagi menemukannya. Sudah dibongkar. Dibangun yang lebih baru.
Maka bangunan-bangunan di sekitar masjid Nabawi kini sudah mencapai selera Amerika. Tertata rapi. Pakai sistem blok.
Pertanyaan cucu saya sudah begini: hotel kita berapa blok dari gerbang 326 masjid Nabawi. Atau hotel dia berapa blok dari hotel kita. Untuk ke kafe kita harus berjalan berapa blok.
Kesimpulan saya: perubahan selera tidak bisa mendadak. Dari kumuh ke modern perlu transisi. Saya sendiri mengalami itu. Anda juga. Pun dari miskin ke kaya. Perlu lewat kelas menengah. Banyak orang yang sudah mulai kaya seleranya masih miskin –contohnya saya.