Saya pilih jalan darat. Sewa mobil. Setir sendiri. Sudah ada teman di jalan: Janet dan suaminyi. Mereka, baru datang dari Beijing, menyusul saya ke Kansas.
Sebelum memulai tulisan ini saya juga terkejut membuka medsos: soal korupsi PT Timah ternyata naik menjadi Rp 300,003 triliun. Juga kaget soal jalannya persidangan menteri pertanian itu.
Saya tidak ceritakan kekagetan itu kepada John Mohn maupun tamu itu. Mereka sedang asyik bereuni di rumah John.
Janet bercerita kini lebih mudah ke rumah John setelah pindah dari Hays ke Lawrence. Lebih dekat ke kota besar, Kansas City. Hanya 45 menit pakai mobil.
Waktu John masih di Hays mereka harus empat jam bermobil dari Kansas City. Atau lima jam dari Denver.
Lawrence kota kecil yang bernama besar. Pertandingan basket pertama di dunia dilahirkan di kota ini. Praktis permainan basket bermula dari Lawrence. Kami diajak John melihat patung pencipta basket di depan stadion basket yang bersejarah.
University of Kansas juga di kota ini. Mestinya disingkat UK tapi diucapkan KU. Itu karena kalah tua. UK sudah lebih dulu dipakai University of Kentucky.
Di Lawrence saya dapat pelajaran: Amerika kini sudah lebih efisien. Tidak seboros dulu. Akibatnya: saya sulit cari mobil sewaan yang bisa dikembalikan di San Fransisco. Kini sewa mobil di Lawrence harus dikembalikan di kota ini juga.
Saya ke persewaan mobil Enterprise di Lawrence. Tidak bisa. Ke Avis, sama. Ke Hearzt, tidak beda. Ke Budget, yi yang. Semua harus dikembalikan di Lawrence.
Duluuuu, saya memang heran. Kok bisa. Sewa mobil di mana pun untuk dikembalikan di mana pun. Bukankah itu berarti mereka harus mengirim mobil dari kota yang kelebihan mobil ke kota-kota yang kehabisan mobil.
Kini saya harus ke bandara. Di persewaan mobil dekat bandara masih bisa agak fleksibel: sewa di bandara Lawrence untuk dikembalikan di bandara mana pun.
Sehari waktu saya habis keliling Lawrence untuk akhirnya minta diantar isteri John ke bandara Kansas City.
Jalan darat kali ini saya akan menapaki rute selatan. Lewat perbatasan Meksiko. Lewat El Paso.
Di persewaan saya dapat mobil Ford SUV. Sebenarnya saya ingin SUV Subaru seperti milik John. Tapi lagi tidak tersedia di Avis hari itu.
Ternyata kini juga tidak murah lagi. Apalagi kalau dirupiahkan. Apa boleh buat. Sewa mobil saja, untuk sampai San Fransisco 3.600 dolar.
Maka saya berangkat naik mobil dari bandara Kansas City. Kota ini dibelah bambu oleh sungai besar.
Belahan yang timur, yang lebih besar, masuk negara bagian Missouri –yang belakangan sering jadi juara sepak bola ala Amerika itu.
Belahan barat, yang jauh lebih kecil, masuk Kansas. Lawrence di sebelah barat sungai.
Tempat persewaan ini sama dengan bandaranya: baru. Kali pertama saya melihat stasiun persewaan dibuat seperti mal. Ada lobi bersama di bagian tengahnya. Lobi yang sangat besar. Dari situ tinggal mau ke kanan atau ke kiri. Logo semua perusahaan persewaan terlihat dari lobi.
SIM Indonesia diterima di situ. Saya lega. Dulu pun selalu diterima. Waktu masih manual. Paling petugas selalu mengalami kesulitan mencari yang mana nomor SIM-nya. Tulisan di SIM terlalu kecil. Deretan angkanya panjang. Biasanya petugas meminta saya membacakan nomor itu. Petugas mengetikkannya di komputer. Beres.
Kali ini beda. Saya lihat SIM saya dimasukkan dulu ke mesin pembaca. Saya khawatir. Jangan-jangan tidak terbaca secara digital di Amerika. Lega. Tidak ada masalah.
Setelah administrasi beres saya diberi secuil kertas. Tidak ada lagi petugas yang mengantar dan menyiapkan mobil. Secuil kertas itu yang mengantar. Ada tulisan di secuil itu: B-19.
Artinya: saya harus ke deretan mobil di lorong B. Cari nomor 19. Setiap nomor ada mobilnya. Saya pun melihat ada mobil putih di nomor 19. SUV. Ford. Itu dia.
Tapi di mana kuncinya? Tidak ada orang yang bisa ditanya. Saya coba buka pintu bagasi belakang. Terkunci. Saya coba buka pintu sebelah kemudi. Bisa dibuka. Terlihat kunci tergeletak di tempat duduknya.
Simple. Tidak banyak urusan. Janet jadi co-pilot. Suaminyi duduk di belakang. Saya lambaikan tangan perpisahan pada istri John.
John lagi sibuk yang lain. John sudah 84 tahun. Masih bisa ngebut. Saya doakan ia panjang umur, untuk bisa bertemu lagi. (Dahlan Iskan)