Sisi gembiranya: sinar matahari dari arah belakang. Mengemudi pun tidak silau. Matahari Amerika rasanya lebih rendah di musim panas seperti ini. Atau karena langitnya lebih bersih.
Tujuan setelah San Antonio adalah kota yang namanya lebih terkenal setelah ada perang di Ukraina: Odessa. Masih di Texas.
Nama Odessa –seperti juga Liverpool, Manchester, Beograd, dan banyak lagi di bagian utara Amerika yang diadopsi dari Eropa –memang juga dari nama kota pelabuhan terpenting di Ukraina itu.
San Antonio – Odessa: 5 jam. Meski ini jalur pelosok kualitas jalannya tidak lebih rendah. Lebarnya juga tidak lebih kecil. Badan jalan kiri kanannya juga selapang bukan pelosok. Tidak ada bangunan di dekat jalan –apalagi warung dan tambal ban.
Kian ke barat terlihat pohon-pohon kian pendek. Juga kian berbukit. Jalan rayanya dua lajur di kiri dan dua di kanan. Pemisahnya bisa untuk empat lajur tapi dibiarkan hijau. Terasa lapang karena tidak perlu ada pemisah jalan. Tanpa itu pun, kalau malam, lampu mobil dari depan tidak akan menyilaukan.
Kian ke barat pohon-pohon kian pendek lagi. Kini hanya ada pepohonan maksimum tinggi lima meter. Ini pertanda kian ke barat anginnya kian kencang.
Lalu tinggal ada pohon maksimal tiga meter. Pandangan pun bisa sampai sekuat mata: tidak ada bangunan, tidak ada kampung, tidak ada kota.
Kecepatan bisa konstan semaksimal yang diperbolehkan di jalur itu: 70 mil/jam. Kadang 65 atau 60 –di tikungan perbukitan.
Dua jam kemudian terlihat ada kota kecil: Sonora. Sudah waktunya pipa tua dikuras. Pagi tadi banyak minum air hangat. Juga makan tomat terbesar yang pernah saya makan. Juga susu yang dituang ke oatmeal. Semua hotel punya sarapan makanan kuda itu.
Di Sonora, suami Janet minta agar ganti dirinya yang mengemudi. Toh jalanan sudah sepi.
Pun sebelum Sonora ia sudah sering minta gantian. Saya tidak mau. Lebih tepatnya: tidak percaya.
Jalur Kansas-Tulsa-Dallas-Austin-San Antonio adalah jalur padat. Dan lagi saya harus mampir-mampir di satu lokasi yang saya inginkan. Misalnya mampir pabrik Tesla yang baru, yang terbesar di Amerika. Yakni di dekat Austin.
Setelah Sonora ini saya harus berubah pikiran. Ia kan sudah sering ke Amerika. Ia juga punya SIM bahkan yang internasional. Ia tunjukkan SIM yang seperti buku itu, berwarna putih.
Memang saya keterlaluan tidak mempercayainya. Di Tiongkok sistem lalu-lintasnya kan sama dengan di Amerika: setir kiri. Justru harusnya ia yang lebih tidak percaya pada saya. Apalagi saya lebih tua. Ia 15 tahun lebih muda.
Tapi ia tahu: saya tahu bahwa ia belum pernah mengemudi di Amerika. Ini urusan nyawa. Juga urusan aturan yang belum terbiasa. Saya pilih amannya.
Tentu saya juga harus membuat ia punya sejarahnya sendiri: pernah berkendara di Amerika. Maka kini saatnya ia pegang kemudi.
Di halaman restoran cepat saji itu saya minta suami Janet mencoba dulu mundur-maju. Lalu keliling halaman itu.
Ia harus mengenal karakter mobil Amerika ini. Memang ia punya Mercy baru di Beijing. Juga punya Porsche di kota kelahirannya. Tapi ia belum pernah mengemudikan SUV ini.
Ia juga harus atur posisi tempat duduk yang pas untuk posturnya yang lebih kecil. Atur ulang pula posisi spion dan kaca pengintai belakang.
Saya amati caranya mundur-maju. Kelihatannya ok. Ia merasa siap.
Saya pun bertanya pada istrinya: “Apakah Anda percaya padanya?”
“Saya percaya kepada siapa saja yang bisa mengemudi.”
Wanita selalu punya jawaban cerdas. (Dahlan Iskan)