”Perusuh” Disway membuat lingkaran. Latihan dulu. Setelah lancar mulailah tim video boleh ambil gambar. Mulailah mereka menyanyikan bersama lagu ”Lilin-lilin Kecil”.
Lagu itu bagian dari doa bagi pencipta lagunya sendiri, yang sekarang lagi berjuang untuk sembuh dari kanker: James F. Sundah.
Saya pun mengirimkan video itu ke Lia, istri James yang sejak 20 tahun lalu tinggal di New York, Amerika Serikat.
Kami memang punya acara tahunan: pembaca Disway berkumpul. Mereka disebut ”perusuh” karena komentar mereka di Disway banyak yang ”nakal”.
Kuota pertemuan itu 40 orang. Pembaca yang berminat harus mendaftar. Lalu diundi siapa yang masuk 40 besar.
Tahun ini pertemuan itu berlangsung Sabtu dan Minggu kemarin. Di Surabaya dan di Pacet, Mojokerto.
Di Surabaya mereka ikut senam massal menandai ulang tahun ke-8 SDI –Senam Dahlan Iskan. Anggota di lima cabang senam itu kumpul jadi satu di Atlantis Land, Pantai Kenjeran Surabaya.
Pertemuan Perusuh Disway itu tahun lalu diadakan di Candi Prambanan. Tahun sebelumnya di Agrinex, Pandeglang, Banten Selatan. Entah tahun depan.
Setelah pertemuan selesai saya minta bantuan doa pada mereka untuk James F. Sundah –wartawati Zulfarida Ariyani yang memimpinnya.
Anda pun jadi tahu: mengapa saya tidak jadi Camino bulan Oktober lalu. Lia-lah yang menurut rencana akan menemani saya ke perjalanan rohani menuju Cathedral di Santiago, Spanyol itu. Ketika tiba waktunya siap-siap ber-Camino Lia ternyata harus merawat suami.
Maka di bulan September itu rapat-rapat-jarak-jauh yang mestinya membahas apa saja yang harus disiapkan untuk Camino menjadi semacam konsultasi bagaimana cara menangani penyakit James.
Lia ingin membawa pulang James ke Indonesia. James merasa lebih nyaman kalau penanganan kankernya dilakukan oleh dokter Asia yang memahami pengobatan timur.
Saya keberatan dengan ide itu. “Anda beruntung terkena kanker di Amerika. Rumah sakit terbaik ada di sini. Obat terbaru ada di sini. Dokter paling hebat ada di sini,” kata saya.
Apalagi sebagai pemegang kartu permanent residence, James-Lia berhak atas fasilitas kesehatan Amerika. Belum lagi asuransi kesehatan suami-istri itu ampuh untuk pengobatan apa pun di sana.
Lia berhari-hari menangis. Pun di saat telepon saya di tengah malam. Saya harus bijaksana berbicara dengan wanita yang lagi dalam duka yang dalam.
“Saya…em… belum siap kehilangan James,” ujar Lia sesenggukan. Tidak hanya satu-dua kali. “Saya sangat sayang James,” katanyi berkali-kali.
Sehari bisa tiga-empat kali Lia menelepon saya. Dari New York. Sebagai orang yang pernah sakit kanker saya tahu kejiwaan seperti apa yang dialami James dan Lia. Saya harus lebih dulu menata suasana kebatinan itu dulu.
Sikap pertama orang yang divonis kanker, Anda sudah tahu: menolak kenyataan itu. Kadang menyalahkan keadaan. Bahkan sampai menyalahkan Tuhan.
Lama-lama orang itu bisa menerima kenyataan. Kadang sudah terlambat.
Kian cepat seseorang bisa menerima kenyataan kian cepat pula bisa berpikir jernih: memikirkan apa yang harus dilakukan.
Lia sangat cepat mulai berpikir jernih. Dia memang wanita yang cerdas. Berpikir cepat. Bertindak cepat. Pun saat membantu orang lain. Jaringannya juga luas. Di New York dia sering diundang wali kota untuk berbagai urusan.
Kini dia harus menangani bukan orang lain. Dia harus menangani suami sendiri: James F. Sundah.
Akhirnya saya lega: Lia berhasil menemukan rumah sakit yang tepat untuk sang suami: RS Mt. Sinai. Terkenal sekali. James pun segera dikirim ke sana.
Dari cara Lia mencari dokter, mencari rumah sakit, mencari obat, dan melakukan pemeriksaan terhadap semua obat yang harus diminum James, saya berkesimpulan: Lia bisa menjadi manajer James yang andal. Istri menjadi manajer untuk suami.
Orang sakit tidak hanya perlu perawat. Orang sakit lebih perlu seorang manajer pasien.
Saya ingat saat menghadapi keadaan antara hidup dan mati 18 tahun yang lalu. Hari itu saya telah mendapatkan seorang manajer andal untuk memanajemeni sakit saya.
Anda sudah tahu siapa orang itu: Robert Lai –orang Singapura yang ketika lahir di Hong Kong bernama Lai Chong Wing.
Robert-lah yang mencari dan memilihkan rumah sakit yang tepat. Dokter yang tepat. Kamar yang tepat. Pun sampai mendiskusikan dengan dokter kegunaan dan risiko dari setiap obat yang diberikan ke saya.
Robert pula yang mendisiplinkan diri saya. Pun mendisiplinkan istri saya. Anak-anak saya. Bahkan Robert sampai menciptakan kondisi agar semua perawat bekerja secara baik.
Lia mengerjakan semua itu untuk James. Saya punya Robert, James punya Lia. Saya pun memberikan nomor telepon Robert ke Lia. Mereka saling berkomunikasi bagaimana bisa menjadi manajer yang baik bagi seorang pasien yang sakit kanker.
Saya juga memberikan nomor dokter Indonesia yang ahli kanker: Prof Dr Ario Jatmiko. Saya tahu Prof Ario juga seorang penyanyi. Kalau Lia bisa berkomunikasi dengan Prof Ario pasti nyambung. Sesama pemusik.
“Saya merasa sangat terbantu oleh Prof Ario Jatmiko,” ujar Lia. Tentu Lia juga punya jaringan sendiri di kalangan dokter. Di masa Covid dulu Lia dan James bikin gerakan Lilin-lilin Kecil secara online. Banyak anggota gerakan itu yang dokter.
Ketika saya ke Amerika Oktober lalu tentu ke rumah James. Tidur di rumah itu. Tiga hari. Saya lega. Wajah James sudah cerah. Lia juga sudah kembali cantik. Masa-masa stres kelihatannya sudah lewat.
Kanker di paru-paru James sudah mengecil. Pun yang di livernya. Juga yang di tulangnya. James sudah berhenti merokok. Makanannya juga sudah lebih terpilih.
Selama tiga hari di rumah itu saya melihat dari dekat bagaimana Lia merangkap pekerjaan sebagai istri dan sebagai seorang manajer bagi suami.
Saya melihat bagaimana Lia menata obat yang banyak itu. Saya juga melihat bagaimana Lia sukses merayu James menelan obat yang ke-12 atau ke-17 hari itu. Lalu mencium suami saat obat berhasil ditelan.
James juga sudah bisa kembali ke dapur. Saya dimasakkan pepes ikan dengan bungkus daun pepaya. Khas makanan Manado. Enak sekali.
Di rumah James ini saya jadi tahu: banyak obat Tiongkok yang palsu. Lia punya contoh-contoh mana yang asli dan mana yang palsu –sekilas hampir tidak bisa dibedakan.
Lia melacak keaslian semua obat sampai seperti seorang detektif. James tidak hanya dapat rumah sakit, dokter, dan obat yang tepat, tapi juga dapat manajer yang andal: Lia, istri sendiri.(Dahlan Iskan)