Saya tidak kenal Ais. Tapi kenal ayahnya: Muhammad Asfar. Tokoh Universitas Airlangga. Doktor ilmu politik. Disertasinya tentang perilaku pemilih di Pemilu.
Ais adalah anak keempat atau kelima Asfar: tergantung bagaimana cara menghitungnya. Ada yang bilang anak kembar yang lahir duluan justru disebut adik.
Ais memang anak kembar keempat dan kelima. Kembarannya juga wanita: Anis Safinah Asfar. Ais dipanggil Iis. Anis dipanggil Iin.
Ais diambil dari nama istri Nabi Muhammad yang paling cerdas: Aisyah. Shafiyah berarti membawa kedamaian.
Sedang Anis diharapkan jadi teman baik sesuai dengan arti nama itu. Safinah diambil dari kata ”Safinatun Najah”, nama kitab fikih karya Imam Syafii.
“Tidak sulit membedakan. Wajah mereka tidak sangat mirip,” ujar Asfar.
Asfar dikenal sebagai ”dukun politik” di Indonesia. Ia punya lembaga jajak pendapat: Pusdeham. Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Independen.
Hasil jajak pendapat Pusdeham hampir selalu tepat. Baik secara nasional maupun di sebuah Pilkada.
Anda sudah tahu bahwa Anda tidak pernah tahu itu. Asfar memang tidak pernah mengumumkan hasil jajak pendapat Pusdeham. Ia hanya mengedarkannya untuk kalangan terbatas.
“Tanpa mengumumkan hasil kajian saja saya sudah kewalahan,” ujar Asfar tadi malam. “Saya sudah menolak-nolak klien,” tambahnya.
Asfar memang bukan tipe orang yang rakus. Ia membatasi jumlah klien. Maksimal 40 kabupaten/kota dan 40 calon anggota DPR/DPRD.
Pusdeham sangat menjaga akurasi. Ia tidak mau menangani terlalu banyak klien.
Di Pilpres yang barusan, Asfar juga melakukan penelitian. Hasilnya: Prabowo akan menang 51 persen.
Ketika tim Prabowo mengetahui itu mereka minta agar Pusdeham membukanya ke publik. Asfar tidak mau. Banyak yang marah kepadanya. Asfar tetap tidak mau merilisnya.
Asfar sangat layak menjadi guru besar. Sudah waktunya pula. Tapi ia tidak pernah mau mengurusnya.
“Takut terikat jadwal mengajar yang ketat,” katanya.
Asfar terlihat sangat fokus di lembaga yang ia dirikan. Juga fokus ”membesarkan” lima orang anaknya.
Empat anaknya lulusan Inggris. Termasuk si kembar. Dua-duanya. Satu lagi lulusan Swiss –karena ambil jurusan hospitality.
Anak-anak itu, semua, sekolah di SMP Al Hikmah Surabaya. Yakni sekolah Islam yang mahalnya sudah mengalahkan sekolah terbaik Kristen maupun Katolik di sana. Juga mutunya. Hanya kalah oleh SMP Ciputra (Disway 21 Juli 2024: Terbaik Baru).
Mereka juga masih SMA di Al Hikmah. Hanya untuk kelas satu. Setelah itu pindah sekolah ke Singapura –mendapatkan bea siswa karena prestasi akademi.
Bagaimana Ais bisa masuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)? Jadi ketua harian pengurus pusatnya pula? Apakah dia memang dari keluarga Nahdlatul Ulama (NU)?
“Ayah saya NU, ibu saya Muhammadiyah,” ujar Asfar. Banyak yang seperti itu di Lamongan –daerah asal Asfar.
Kakak-kakak Asfar juga ada yang di Muhammadiyah. Asfar sendiri pernah ”mondok” di pesantren Langitan –pondok bintang sembilannya NU.
Ketika Ais kuliah S-2 di Cardiff, Inggris, dia kenal dengan putri Muhaimin Iskandar, ketua umum DPP PKB.
Sang putri masih kuliah di S-1 di Inggris. Mereka pun berteman. Sama-sama aktif di PPI –organisasi mahasiswa Indonesia di Eropa.
Waktu itu Ais ambil mata kuliah ilmu komunikasi politik. Sebelum itu Ais meraih gelar S-1 dari Essex University, juga di Inggris. Tidak jauh dari Ipswich. Dia ambil jurusan marketing manajemen. Jagoan. Dia terpilih sebagai lulusan terbaik angkatan itu.
Kini Ais sedang mengambil gelar doktor di Unair. Sudah selesai. Sudah menjalani ujian doktor tertutup. Tinggal ujian terbuka yang biasanya sekaligus penyerahan gelar doktornya. Umur 23 tahun Ais bergelar doktor. Begitu muda. Saat Ais lulus S-2 pun umurnyi baru 19 tahun.
Dan kini dia masuk politik. Dimulai dari bawah: calon anggota DPRD Kota Surabaya dari PKB. Terpilih.
Maka bumi-langit dia rangkul. Di bumi dia menjadi anggota DPRD terbawah. Di langit dia menjadi ketua harian pengurus pusat.
Doktor politik itu kini menjadi politikus. Dia akan bisa membandingkan apakah ilmu politiknya cocok dengan realitas politik di lapangan.
Setidaknya Ais memang membuktikan dirinya adalah generasi unggul –bukan hanya bisa nebeng ketokohan bapaknya. (Dahlan Iskan)