Yang satu janji menghadiri pemilihan pemilihan Miss Tionghoa Indonesia 2024. Final nasional.
Janji satunya lagi: diskusi terbatas lewat zoom. Yang mengadakan diskusi sebuah lembaga yang belum saya kenal: Perkumpulan Swadaya Masyarakat Rantau Melayu. Berpusat di Medan.
Saya pun bisiki istri di kursi sebelah. “Kita tidak bisa sampai selesai di sini,” bisik saya.
Istri mengangguk pelan. Saya kasihan. Dia berdandan lebih lama sore tadi. Hanya untuk sebentar di satu acara.
Begitu naik mobil saya langsung terhubung ke zoom. Sudah telat. Acara sudah berlangsung. Saya ketinggalan. Tidak sempat mendengar paparan pembicara pertama: Muhammad Rasulullah. Padahal ia adalah yang terpenting. Ia mengaku mendapat wahyu untuk mendamaikan dunia –utamanya antara Israel dan Arab.
Begitu melihat foto saya muncul di layar moderator langsung minta saya bicara. Tidak bisa. Saya belum tahu apa-apa. Saya minta yang lain-lain dulu bicara.
“Diskusi soal apa? Kok sebut-sebut Rasulullah…,” tanya istri.
Saya hanya setengah mendengar. Konsentrasi saya ke Medan. Saya juga belum kenal moderator malam itu: Muammar Agustin Lubis. Komunikasi saya selama seminggu terakhir hanya lewat WA.
Saya juga baru mendengar ada organisasi bernama Rantau Melayu. ‘Rantau’ di situ terkait dengan kata ‘merantau’. Bukan nama kota Rantau.
Orang Melayu memang percaya bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang hebat. Bahwa mereka berdomisili di Asia Tenggara itu karena merantau. Ke Nusantara, Riau, Melaka, Kamboja dan sekitarnya.
Asal-usul mereka: di sekitar tanah Palestina. Satu tanah dengan bangsa Yahudi dan Arab.
Kalau Yahudi keturunan Ibrahim dari istri pertama yang bernama Sarah, Arab keturunan Ibrahim dari istri satunya yang bernama Hajar. Sedang bangsa Melayu adalah keturunan Ibrahim dari istri satunya lagi: Siti Qanturah. Biasa disebut juga Siti Keturah.
Dalam literatut Islam tidak pernah disebut Keturah adalah juga istri Nabi Ibrahim (Abraham). Itu ada di kitab-kitab agama lain, termasuk Yahudi.
Bahkan disebut Siti Keturah adalah wanita yang asalnya dari Nusantara. Begitu hebatnya Nusantara di zaman itu.
Para tokoh Melayu percaya bahwa perang antara Yahudi dan Arab bukanlah soal agama. Terutama di mata tokoh Melayu lama.
Perang berkepanjangan itu asal-muasalnya hanya soal internal keluarga Ibrahim.
Maka, –ini yang mereka anggap penting– bangsa Melayulah yang akan mampu mendamaikan dua bangsa itu.
Pesan seperti itu pula yang diterima Muhammad Rasulullah di Medan. Pesan itu datangnya langsung dari Allah. Lewat wahyu ke orang Medan itu.
Maka sejak 24 tahun lalu ia terus berusaha merealisasikan wahyu itu. Lewat berbagai usaha. Termasuk kirim surat ke para presiden di dunia –termasuk para presiden Indonesia.
Nama Muhammad Rasulullah aslinya adalah Muhammad Zubir Amir, S.Si. Ia sarjana fisika dari MIPA Universitas Sumatera Utara (USU). Ia kelahiran tahun 1969.
Zubir adalah penganut tarekat Satariyah –yang memang besar di Aceh dan Sumut.
Zubir lantas menjadi mursyid Satariyah di Medan. Pengikutnya banyak sekali. Sampai di Malaysia.
Moderator malam itu, Muammar Lubis adalah salah satu pengikut Zubir. Muammar masih mahasiswa di Universitas Pembangunan Panca Budi Medan. Masih semester tiga. Jurusan hukum tata negara.
Dalam pembicaraan saya dengan Muammar saya tidak percaya ia masih mahasiswa semester tiga. Literaturnya luas. Ilmunya tinggi.
Rupanya Muammar seorang pencari ilmu mandiri. Baru belakangan ia sadar ijazah itu diperlukan. Bahkan ia akan meneruskan S-2 di Leiden, Belanda.
Melihat kepintarannya itu sudah ada yang akan membiayai Muammar ke Leiden.
Muammar termasuk yang percaya bahwa Zubir mendapat wahyu perdamaian itu. Itu dilihat dari usahanya tidak henti selama 24 tahun. Untuk apa. Ia tidak perlu apa-apa.
Sebagai sufi Zubir tidak memikirkan duniawi. Ia tidak punya mobil. Hidupnya untuk tarekat. Bahkan ia pernah jadi tukang becak di Medan –dengan ijazah sarjana fisika. Saya pun tertegun. Saya kan orang Melayu juga. (Dahlan Iskan)