Lalu terjadilah awal mulai “subsidi haji” itu: tahun itu biaya hotel di Makkah dan Madinah tiba-tiba naik. Jemaah haji sudah melunasi pembayaran ONH –ongkos naik haji. Mereka tidak mau tahu: kan sudah lunas.
Kejadian seperti itu tidak pernah diantisipasi. Karena sudah dinyatakan lunas jemaah haji tidak mau bayar uang tambahan. Maka dipakailah dana hasil pemutaran uang itu untuk menutupi kekurangannya.
Lalu menjadi kebiasaan. Saat pemerintah “takut” menaikkan ONH selisih biayanya diambilkan dari keuangan haji. Pernah “subsidi” naik haji itu sampai 50 persennya.
“Pelan-pelan selisih harga itu dikurangi. Sekarang jemaah haji sudah membayar 70 persen dari biaya seharusnya,” ujar Amri.
DPR juga sudah mengamanatkan agar tiap tahun “subsidi” itu dikurangi lima persen. Berarti enam tahun lagi barulah ongkos naik haji sepenuhnya sesuai dengan biaya seharusnya.
Saya sendiri tidak tahu mana yang lebih baik: tetap boleh mendaftar kapan saja seperti berlaku sekarang –dengan konsekuensi terjadi antrean sampai 15 tahun. Atau kembali ke masa sebelum tahun 2010 –saat mendaftar sudah harus langsung lunas.
Badan Pengelola Keuangan Haji itu tidak di bawah Kementerian Haji. Ia independen. Dipimpin oleh tujuh orang komisioner. Ketuanya saat ini: Fadlul Imansyah.
Kami pun lantas ngobrol soal kualitas pelayanan haji terakhir kemarin. “Kacau ” ujar seorang yang duduk satu meja dengan kami. “Tidak diadakan simulasi dulu,” kata yang lain.
“Kacaunya” adalah: suami istri bisa berada di EO yang berbeda. Keluarga terpisah. Itu karena Indonesia menunjuk terlalu banyak EO haji: 15 EO. “Tahun depan Indonesia hanya menunjuk dua EO,” ujar seseorang yang kelihatannya sangat tahu soal haji.
Pemerintah Arab Saudi memang sudah “menswastakan” pelayanan haji. Sejak lima tahunan lalu. Tiap negara boleh menunjuk EO yang dikehendaki. Boleh pakai satu EO, boleh juga banyak.
Perusahaan EO itu di sana disebut: syarikah.(Dahlan Iskan)