Makan siang itu saya batalkan. Dokter ahli jantung Jagaddhito tetap naik kereta cepat ke Beijing. Begitu tiba saya minta berubah arah. Pemred Harian Disway Doan Widhiandono juga saya minta ke tujuan baru. Janet dan suami tetap menjemput ke hotel saya.
Tujuan baru itu: Wisma Indonesia. Di Beijing. Beberapa menit sebelumnya duta besar kita di Tiongkok muncul di WA saya: apakah saya sedang di Beijing.
“Benar,” jawab saya. “Apakah berkenan nanti malam saya undang makan malam?” tanya saya –takut keduluan.
“Ini di Beijing. Saya yang harus jadi tuan rumahnya,” katanya. “Tapi nanti sore saya akan ke Xiamen,” katanya. “Kita makan siang saja. Agak awal,” tambahnya.
Anda sudah tahu nama duta besar kita di Beijing: Djauhari Oratmangun. Ia pemegang rekor: duta besar Indonesia di Tiongkok yang paling lama. Sudah tujuh tahun. Bahkan calon duta besar Indonesia terlama di seluruh dunia.
Saya bilang ”calon” karena rekornya masih dipegang Husin Bagis. Ia duta besar Indonesia di Uni Emirat Arab. Bagis lebih lama dari Djauhari –menang beberapa minggu. Tapi Bagis sudah pensiun. Bulan lalu. Sedang Djauhari masih diperlukan di Beijing.
Dahlan Iskan berbincang dengan Dubes RI di Tiongkok dan wartawati asal Rumania.-HARIAN DISWAY-
Jagaddhito adalah ahli jantung Unair/UGM yang sedang memperdalam ilmu di RS Rizhao, Shangdong. Tiga jam setengah naik kereta cepat ke Beijing. Doan adalah pemred Harian Disway yang terpilih program lima bulan di Tiongkok. Seniman. Pemain teater. Kini lagi studi S-3 di Unair.
Doan, sejak edisi Jumat kemarin menulis pengalamannya menjadi ”wartawan VVIP” yang meliput parade militer 3 September lalu. Baca sendiri tulisan Doan di Disway E-paper. Bersambung. Bagus sekali. Saya pun belum pernah terpilih menjadi wartawan yang bisa meliput VVIP di satu acara terbesar di dunia.
Doan sudah tiba lebih dulu di Wisma Indonesia. Jagaddhito masih harus naik kereta bawah tanah setiba di stasiun Beijing-Nan. Di wisma sudah ada satu wanita muda. Cantik. Bule. Rambut pirang. Suaminyi lagi menggendong bayi mereka.