Keputusan itu, lanjutnya, tidak hanya menghentikan banjir. Setelah tanggul raksasa berdiri, lahan-lahan yang tadinya terendam kini menjadi area pertanian produktif.
Kawasan pesisir yang aman mengundang investasi, pelabuhan berkembang pesat, dan kota-kota baru tumbuh dengan aman dan teratur. Ancaman air berubah menjadi fondasi kemakmuran.
Visi inilah yang coba diproyeksikan KKP untuk masa depan Pantura Jawa. Dengan Giant Sea Wall, kawasan industri di Cikarang, Karawang, hingga Semarang yang kerap terancam rob akan terlindungi total.
KKP melihat potensi lahirnya pusat-pusat ekonomi baru di sepanjang koridor tanggul.
“Di Belanda, area di belakang tanggul menjadi pusat kehidupan. Kita bisa merancang hal yang sama. Akan ada area untuk pelabuhan modern, kawasan industri perikanan terpadu, hingga pusat pariwisata bahari. Ini bukan lagi soal bertahan dari rob. Tetapi melompat ke masa depan,” kata Yusuf optimistis.
Mengawinkan Beton dan Alam
Inspirasi dari Belanda tidak hanya sebatas pada kekuatan beton. KKP juga mempelajari bagaimana negara kincir angin itu mulai mengintegrasikan solusi berbasis alam (nature-based solutions) dalam proyek pengelolaan air.
Proyek “Ruimte voor de Rivier” (Ruang untuk Sungai) menjadi contoh bagaimana Belanda tidak lagi hanya melawan air. Tapi memberinya ruang agar bisa dikelola secara harmonis.
Pendekatan serupa menjadi semangat Giant Sea Wall. Proyek ini tidak akan menjadi tembok mati yang memisahkan darat dan laut.
“Kita akan kawinkan kekuatan rekayasa teknik dengan kearifan ekologi. Tanggulnya akan dikombinasikan dengan penanaman puluhan ribu hektar mangrove. Sebagian struktur tanggul akan didesain menjadi terumbu buatan. Jadi, tanggulnya melindungi manusia di darat. Sekaligus menjadi rumah bagi ikan di laut,” urai Yusuf.
Dia menekankan pembangunan infrastruktur pesisir harus selaras dengan prinsip ekonomi biru. Yaitu kesehatan laut menjadi fondasi utama.
Menurutnya, Giant Sea Wall akan mengadopsi konsep hybrid engineering, yang menggabungkan kekuatan struktur fisik dengan kearifan alam.