Kondisi ini menjadi peluang bagi Tiongkok yang kini meningkatkan kualitas produksi matcha. Dulu, matcha Tiongkok hanya dianggap cocok sebagai bahan perisa pada produk makanan seperti cokelat atau es krim, namun kini kualitasnya semakin baik.
“Persepsi mulai berubah. Tidak harus selalu matcha Jepang. Matcha Tiongkok juga memiliki kualitas yang bagus,” kata Jason Walker dari Firsd Tea, anak perusahaan Zhejiang Tea Group mengutip laman apnews, Rabu 17 September 2025.
Banyak kafe global, termasuk Starbucks, kini menggunakan matcha dari Tiongkok, selain tetap memasok dari Jepang dan Korea Selatan. Namun, harga yang terus naik tetap menjadi kekhawatiran para pengusaha.
Josh Mordecai, direktur rantai pasokan Good & Proper Tea berbasis di London, mengaku harga pengadaan matcha Jepang naik hingga 40%, memaksanya mempertimbangkan kenaikan harga jual.
Ia juga menilai tren permintaan matcha setahun terakhir lebih tinggi dibanding sembilan tahun sebelumnya.
“Kita lihat saja apakah ini tren yang bertahan atau hanya fenomena media sosial,” ujarnya.
Di sisi lain, pakar industri minuman memperkirakan minat pada matcha akan tetap ada meski euforia media sosial mereda.
Julia Mills dari Mintel menyebutkan bahwa matcha memiliki daya tarik kuat bagi konsumen yang peduli kesehatan karena kandungan antioksidan dan l-theanine yang menenangkan, serta kandungan kafein yang lebih rendah dibanding kopi.
Bagi penggemar fanatik seperti Melissa Lindsay di San Francisco, ritual membuat matcha setiap pagi adalah pengalaman yang sulit digantikan, meski harganya terus naik.
“Ini bukan sekadar minuman, tetapi pengalaman pribadi,” katanya.
David Lau, pemilik Asha Tea House, mencoba menahan kenaikan harga agar tetap terjangkau. Ia hanya menaikkan harga matcha latte sebesar 50 sen meski biaya bahan baku naik lebih dari dua kali lipat.
“Kami ingin tetap berada di kategori kemewahan yang terjangkau. Jika harganya terlalu tinggi, pelanggan bisa meninggalkan kami,” ujarnya.
Fenomena kenaikan harga ini akan menjadi ujian bagi para pecinta matcha di seluruh dunia. Apakah mereka tetap setia pada teh hijau bubuk favoritnya, atau beralih ke alternatif lain seperti hojicha yang lebih terjangkau, akan menjadi cerita menarik dalam beberapa bulan ke depan.



