IKNPOS.ID – Pidato Kenegaraan dan Nota Keuangan 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (15/8/2025) di Kompleks Parlemen, Senayan, langsung menjadi sorotan publik.
Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan ambisi besar menghadirkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa defisit, dengan target bisa dicapai pada 2027 atau 2028.
Rancangan APBN (RAPBN) 2026 menetapkan belanja negara sebesar Rp3.786,5 triliun dan target pendapatan Rp3.147,7 triliun.
Dengan demikian, defisit yang dirancang mencapai Rp638,8 triliun, atau setara 2,48 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kami akan terus melaksanakan efisiensi sehingga defisit ini ditekan sekecil mungkin,” tegas Prabowo dalam pidatonya.
Ambisi Nol Defisit: Realistis atau Terlalu Optimistis?
Pernyataan Prabowo tentu memunculkan diskusi hangat. Pasalnya, mengelola APBN tanpa defisit bukanlah perkara mudah, terutama di tengah dinamika global, fluktuasi harga komoditas, hingga tantangan domestik seperti inflasi pangan dan pembiayaan infrastruktur.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pernyataan Presiden berangkat dari semangat Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan peran negara dalam cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Namun, menurutnya, tantangan yang dihadapi bukan hanya soal keberanian menargetkan nol defisit, melainkan konsolidasi arah pemerintahan agar jelas, disiplin, dan terukur.
“Masalahnya sederhana: bagaimana menenun narasi kedaulatan dan keadilan sosial menjadi RAPBN 2026 yang disiplin, realistis, dan tidak sekadar janji,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
PR Berat: Dari Transparansi hingga Ketahanan Pangan
Achmad juga menekankan bahwa RAPBN 2026 harus mampu menjawab kebutuhan riil rakyat. Ia menyoroti pentingnya:
Multi-year costing yang transparan,
Penguatan logistik nasional,
Pemenuhan standar gizi dan keamanan pangan,
Buffer cadangan untuk menghadapi gejolak harga dan ancaman krisis iklim.
Tanpa itu semua, ambisi besar Presiden Prabowo bisa kehilangan pijakan nyata.