IKNPOS.ID – Harga Pi Network makin tertekan. Sementara pengguna lama berharap pada mimpi lama tentang “uang gratis dari ponsel”, kenyataan berkata lain. Pi Network menghadapi masalah besar yang belum banyak dibicarakan, yaitu inflasi ekstrem yang bisa menghancurkan nilainya dari dalam.
Fenomena ini bukan sekadar koreksi harga. Kita sedang melihat gejala pembusukan nilai dari sebuah mata uang kripto yang awalnya digadang-gadang akan menjadi “Bitcoin untuk semua orang”.
Lonjakan Suplai, Mesin Inflasi yang Tidak Pernah Mati
Masalah utama Pi Network saat ini bukan cuma soal adopsi, utilitas, atau belum listing di bursa besar. Yang paling mengkhawatirkan justru datang dari tokenomics-nya sendiri, yaitu suplai yang terus bertambah tanpa kendali yang jelas.
Menurut laporan CCN (2024), Pi Network memiliki rencana suplai maksimum hingga 100 miliar token, menjadikannya salah satu aset kripto dengan potensi inflasi terbesar di pasaran digital saat ini (CCN).
Hingga pertengahan 2025, data dari Binance Square memperkirakan bahwa jumlah token Pi yang telah beredar mencapai lebih dari 11 miliar (Binance Blog), sementara laporan BeInCrypto menyebutkan versi lebih konservatif sekitar 6,7 miliar token (BeInCrypto). Artinya, tingkat inflasi tahunan bisa berkisar antara 100 hingga 200 persen, tergantung kecepatan mining dan distribusi.
Sebagai perbandingan, Bitcoin hanya memiliki inflasi tahunan sekitar 0,85 persen berkat mekanisme halving-nya yang ketat. Perbedaan ini sangat mencolok.
Tidak Ada Mekanisme Bakar Token
Berbeda dengan Ethereum, BNB, atau bahkan meme coin seperti Shiba Inu yang telah menerapkan sistem token burn untuk mengurangi suplai, Pi Network tidak menyediakan mekanisme tersebut. Tidak ada penjelasan resmi tentang pengurangan suplai, baik melalui pembakaran, halving, atau staking deflasi.
Dokumentasi awal dari white paper Pi juga tidak mencantumkan strategi kontrol inflasi setelah distribusi selesai. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang arah nilai token ke depan (OneSafe.io).