BELAKANGAN ini saya lebih boros pulsa. Kuota cepat habis. Tiga minggu di Tiongkok uang beli pulsa bisa lebih banyak dari beli 喜茶.
Yang terbanyak menghabiskan pulsa saya adalah Dr Roy Suryo dan Dr Rismon Sianipar. Saya tidak ingin ketinggalan apa yang dua orang itu bahas di YouTube.
Itu karena saya harus bisa menjawab semua pertanyaan teman saya di Tiongkok: soal ijazah Presiden Jokowi. Palsu atau tidak.
Mereka ternyata mengikuti perkembangan ijazah itu: lewat pemberitaan dalam bahasa Mandarin. Mereka ingin tahu lebih banyak.
Tentu saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Yang tahu hanya satu orang: Jokowi”, kata saya. Atau maksimal empat orang: dua dari keluarga dekat Jokowi, satu dari Universitas Gadjah Mada, satu lagi salah satu sahabat lama Jokowi.
Atau masih ada lagi?
Masalah ini menjadi heboh karena Anda sudah tahu: yang paling tahu itu tidak mau tahu. Jokowi bilang, secara hukum bukan tugasnya untuk membuktikan bahwa ijazahnya asli. Tugas yang mempersoalkanlah untuk mengajukan bukti bahwa ijazahnya palsu.
Jokowi keras sekali dalam sikapnya itu. Banyak yang heran mengapa begitu keras. Padahal begitu ia memperlihatkan, dan ternyata asli, persoalan pun selesai.
Apakah sikap keras itu tergolong budaya “umuk Solo”?
Saya pernah ikuti ceramah di video Bambang Pacul, tokoh PDI-Perjuangan Jawa Tengah. Ia membahas soal budaya yang disebut “umuk Solo”.
Orang Magetan juga punya budaya “umuk”. Mungkin Solo lebih “umuk”. Magetan adalah di sisi timur Lawu. Solo sisi baratnya.
Mestinya sikap keras itu tidak tergolong budaya “umuk”. Tidak begitu. “Umuk” adalah membesarkan atau menghebatkan kejadian.
Misalnya soal ekonomi ‘meroket’ itu. Dalam budaya “umuk” itu bukan termasuk bohong atau tipu. Itu “umuk”.
Dalam kerangka budaya “umuk” itulah bisa jadi Pak Jokowi tidak punya perasaan bahwa itu sebuah kebohongan.
Saya pun menghubungi Bambang Pacul. Ia lebih senang namanya ditulis sebagai Bambang PaTjuL. Saya tanyakan apakah sikap keras Jokowi itu terholong budaya “umuk”. “Tidak,” ujar PaTjuL.