Yang menemukan kehebatan Lutfy adalah tokoh Muhammadiyah bernama Ghufron Mustaqim. Ia adalah ketua Sumu –Sarikat Usaha Muhammadiyah– Yogyakarta.
Ghufron menilai Zendo bisa dikembangkan ke mana-mana. Tentu harus lebih modern. Tidak lagi hanya lewat WA. Harus pakai aplikasi. Ghufron pun mencarikan orang Muhammadiyah yang ahli membangun aplikasi.
Ghufron adalah alumnus Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Ia juga pernah menjadi ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
“Sekarang Zendo berjalan bersamaan. WA tetap jalan. Aplikasi mulai jalan,” ujar Lutfy. “Sampai kelak aplikasinya sempurna. Sekarang masih belum sempurna,” tambah Lutfy.
Beda dengan yang lain, di Zendo driver mendapat hak 80 persen. Itu karena Zendo harus pro umat. Bahkan untuk pengembangan ke-27 kota pun Zendo belum memungut apa pun. Hanya memberikan lisensi.
“Biar Muhammadiyah yang mengaturnya kelak,” ujar Lutfy.
Anak Lutfy kini sudah besar. Sudah SMP. Ibunyi meninggal lima tahun lalu. Kanker payudara sang ibu tidak tertolong. RS di Tulungagung tidak bisa menangani. Lutfy kirim ibunda ke RS Baptis di Kediri. Dua minggu di situ meninggal dunia.
Ayah? “Ayah meninggal saat saya masih SD. Beliau guru honorer. Lalu jadi sopir,” ujar Lutfy.
Lutfy sendiri tamat SMAN 1 Tulungagung. Lalu kuliah di perguruan tinggi agama Islam Muhammadiyah, Tulungagung: jurusan pendidikan agama Islam.
Zendo lahir dari rahim penderitaan seorang wanita biasa. Dia bukan wanita biasa. Zendo sedang dikembangkan ke seluruh Indonesia. Di depannya ada raksasa-raksasa dunia.
Ke depan Zendo akan tetap berpusat di Tulungagung. Lutfy pun sampai kini tetap tinggal di sana. Zendo berangkat dari niat mengabdi. Tidak akan ada kamus bakar uang di Zendo.
Yang lain bakar uang untuk mendapat semangat. Zendo bakar semangat untuk dapat uang. (Dahlan Iskan)