Selain itu masih ada yang satu ini: DPR. Direksi BUMN sering dipanggil DPR. Harus siap dicaci maki di situ –pun untuk yang sangat teknis.
Setelah ada Danantara, apakah DPR masih akan sering memanggil direksi BUMN? Ataukah hanya akan memanggil Danantara?
Bukankah perusahaan BUMN yang lama itu kini hanya berstatus sebagai anak perusahaan Danantara?
Atau DPR masih merasa berkuasa dengan sandaran saham satu lembar itu?
Harusnya hanya Danantara yang dipanggil DPR. Selebihnya menjadi urusan dan tanggung jawab Danantara sebagai superholding.
Maka perusahaan BUMN itu punya begitu banyak atasan. Wajar kalau kalah dengan swasta –yang hanya punya satu atasan: pemegang saham mayoritas.
Bahkan jangan-jangan Danantara pun belum merasa sebagai pemilik perusahaan BUMN.
Saya kaget membaca berita di media Senin kemarin: Menteri BUMN mengganti direksi InJourney –holding baru yang membawahkan bandara-bandara BUMN se-Indonesia. Dirut barunya Anda sudah tahu: Mohamad Reza Pahlevi. Ia sosok yang tepat.
Yang membuat saya kaget adalah: kenapa yang mengganti direksi itu masih menteri BUMN. Kenapa bukan direksi Danantara.
Lalu bagaimana mekanismenya? Apakah menteri BUMN berkirim surat usulan ke direksi Danantara agar direksi lama diganti direksi baru. Lengkap dengan nama-namanya. Lalu direksi Danantara menyetujui melaksanakan usulan itu?
Atau cukup menteri BUMN menerbitkan surat keputusan penggantian. Lalu tembusan SK itu dikirim ke direksi Danantara.
Kesimpulan sementara saya: Danantara belum eksis sebagai pemegang saham mayoritas di perusahaan BUMN. Entah kesimpulan Anda. (Dahlan Iskan)