IKNPOS.ID – Masih banyak masyarakat adat di Kalimantan Timur (Kaltim) yang belum mendapatkan pengakuan hukum dari pemerintah.
Padahal, pengakuan ini menjadi kunci penting untuk mencegah konflik sosial dan memastikan hak-hak mereka tidak terabaikan, apalagi di tengah gencarnya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Kaltim, Puguh Harjanto, mengungkapkan bahwa saat ini baru 7 komunitas masyarakat hukum adat yang resmi diakui.
Rinciannya, 5 komunitas berada di Kutai Barat (Kubar) dan 2 komunitas di Kabupaten Paser.
“Proses pengakuan sudah berjalan sejak 2021. Tapi dari total 29 dokumen pengajuan yang kami terima, baru 13 yang sudah diverifikasi faktual. Sisanya masih menunggu pengakuan dari kabupaten,” ujar Puguh dalam Rapat Kerja Nasional AMAN ke-8, dikutip dari Nomorsatukaltim, Kamis 17 April 2025.
Masyarakat Adat adalah Bagian dari Desa
Menurut Puguh, masyarakat adat tidak bisa dipisahkan dari struktur desa. Mereka adalah bagian sah dari desa dan harus mendapatkan perlindungan serta pengakuan yang layak dari negara.
Data dari tahun 2024 menyebutkan ada 206 komunitas masyarakat adat yang tersebar di 165 desa di Kalimantan Timur.
Namun, tak semua komunitas itu memiliki kekuatan hukum karena belum diakui secara formal.
“Ada dua substansi kebijakan dari pemprov. Pertama, proses pengakuan, kedua pemberdayaan masyarakat adat. Tapi perlu dicatat, pengakuan itu kewenangan kabupaten, bukan provinsi,” jelas Puguh.
Program Pemberdayaan yang Sudah Berjalan
Meski kewenangan utama ada di pemerintah kabupaten, Pemprov Kaltim tetap aktif memfasilitasi program-program pemberdayaan. Beberapa program yang telah berjalan antara lain:
-
Pelatihan Paralegal untuk masyarakat adat
-
Bimtek (Bimbingan Teknis) guna meningkatkan kemampuan finansial dan organisasi
-
Pendampingan komunitas adat Kutai Lawas di Kedang Ipil
-
Pendampingan di Kutai Timur, Kubar, dan Berau
Program ini diharapkan bisa meningkatkan kapasitas komunitas adat agar mereka tak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan diperhitungkan secara sah dalam sistem pemerintahan desa.
“Kami ingin memastikan bahwa keberadaan mereka hadir dan terlihat, bukan hanya di peta, tapi juga dalam kebijakan,” tegas Puguh.