“Kami lahir di desa ini. Besar di Addis Ababa. Sekarang tinggal di Toronto”.
“Sering ke sini?”
“Sering. Sesekali”.
Jelaslah mereka masih keturunan yang dimakamkan di situ. Obrolan selesai.
Lapar.
Saya pun minta dibawa ke warung terbaik. Ini soal kesehatan benda yang akan masuk ke perut.
Maka saya dibawa ke warung itu. Lihat foto depannya. Saya ditawari makanan lokal tapi tidak mengerti. Juga tidak mau berjudi. Saya pilih saja roti epek. Roti gapit. Telur dadar (putihnya saja) dijepit di dua belahan roti.
Si Gus Pemandu menolak untuk ikut makan. Lalu setengah saya paksa. Tetap menolak. Ia lulusan D2 bahasa Inggris di kota kecil dekat desanya.
“Puasa?”
“Tidak”.
“Pesanlah makanan apa saja yang Anda suka”.
“Tidak”.
Miskin tapi bermartabat. Cocok dengan motto saya dulu. Anda tentu masih ingat apa lanjutan motto “Miskin Bermartabat” itu –yang pernah saya kampanyekan dulu.
Yang disajikan beda dengan yang saya maksud. Telurnya masih pakai kuningnya.
“Tolong sampaikan, yang saya inginkan tidak seperti ini. Jangan pakai kuning telur,” pinta saya kepada si Gus.
Pesanan pun datang. Benar. Maka saya sodorkan roti epek yang ada kuning telurnya tadi ke Gus Pemandu. Ia mau makan. Lebih cepat habis dari saya.
Kami banyak berbincang soal perang di Tigray. Sesekali pembicaraan berhenti. Kami terdiam. Lama. Sopir yang mengantar saya dari Makelle menyerahkan layar HP-nya. Merek Samsung. Saya baca pesan di layar hp itu.
“Kita jangan bicara perang. Yang baru masuk itu tentara,” tulisnya.
Saya pun melirik tamu yang lagi makan sayur mentah campur saus dan roti. Makannya cepat. Lalu pergi. Kami mulai lagi bicara soal perang.
“Saya pernah sembunyi di bunker di bawah masjid. Hampir tanpa makan dan minum. Dua hari,” ujar Gus Pamandu.
Bunker itu cukup untuk 50 orang. Berdesakan. Tapi tetap saja tidak aman. Tentara masuk ke bunker. Memeriksa mereka. Ketakutan. Tidak ditemukan senjata. Mereka dibebaskan.
Ganti tentara yang menguasai bunker itu. Lengkap dengan persediaan smerekanya.
Desa Negash kini berpenduduk sekitar 2.000 orang. Penduduk muslimnya tinggal paling banyak 200 orang. Saat salat Jumat, masjid itu penuh.