IKNPOS.ID – Dua penulis dari komunitas Historia Kaltim, Syifa Hajati dan Muhammad Sarip, mengusulkan agar perahu tambangan dan penganan tradisional amparan tatak didaftarkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia.
Usulan ini disampaikan dalam Diskusi Terpumpun yang diadakan di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda pada Rabu 13 November 2024.
Forum tersebut difasilitasi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur, membahas dua naskah akademik yang telah diakui melalui Surat Keputusan (SK) dari Disdikbud Kaltim pada 28 Agustus 2024.
Diskusi ini juga menghadirkan maestro tambangan Jamaluddin dan Salimuddin serta maestro amparan tatak Maskota Muradiah dan Khairunnisa, sebagai saksi hidup dari dua ikon budaya ini.
Syifa Hajati mempresentasikan naskah berjudul Tambangan Perahu Ikonik Sungai Mahakam di Samarinda. Dalam paparannya, Syifa, yang merupakan Presiden Mahasiswa UINSI Samarinda periode 2023–2024, bercerita tentang pengalaman masa kecilnya di Samarinda Seberang, di mana ia dan teman-temannya sering menyeberang menggunakan perahu tambangan dengan tarif Rp1.000,- untuk berkunjung ke Samarinda Kota.
“Ketika saya anak-anak pada tahun 2009, saya bersama teman-teman dari rumah bersepeda ke dermaga. Kami menumpang tambangan menyeberang ke Samarinda Kota dan bermain di mal Mesra Indah dekat Pasar Pagi,” kenang Syifa.
Syifa menyimpulkan bahwa tambangan adalah simbol budaya takbenda yang kaya akan nilai sejarah. Dengan konstruksi dari kayu ulin, perahu tambangan menjadi ikon yang mencerminkan identitas masyarakat Samarinda dan perlu dilestarikan sebagai warisan budaya.
Sementara itu, Muhammad Sarip mempresentasikan naskah berjudul Amparan Tatak Kuliner Tradisional Khas Samarinda, yang menyoroti kearifan lokal dalam bidang kuliner yang terpelihara sejak dulu.
Amparan tatak, penganan khas yang terbuat dari tepung beras, santan, dan pisang talas, dianggap sebagai simbol pemersatu di tengah keberagaman masyarakat Samarinda.
“Amparan tatak memiliki cita rasa gurih dan lezat yang dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, melampaui batas etnis dan golongan,” ujar Sarip, yang juga dikenal sebagai penulis buku Histori Kutai.
Ia menambahkan, kudapan ini sering disajikan pada acara besar seperti resepsi pernikahan, perayaan keagamaan, dan buka puasa bersama, yang membuatnya menjadi simbol persatuan di masyarakat Samarinda.
Sarip juga membagikan cerita menarik tentang perjalanan amparan tatak yang dijual oleh Hajjah Hatim, seorang pedagang dari Samarinda Seberang yang menyeberang menggunakan tambangan ke Samarinda Kota di tahun 1970-an untuk menjajakan kue tersebut.
Setelah presentasi oleh kedua penulis, moderator Theo Nugraha memberikan kesempatan kepada para ahli untuk memberikan masukan terhadap naskah-naskah ini.
Pereview Sisva Maryadi dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV Kaltim-Kaltara dan Priangga Wicaksana dari Disdikbud Kaltim turut memberikan saran untuk memperkaya usulan ini.
Dengan adanya dukungan ini, perahu tambangan dan amparan tatak diharapkan dapat diakui sebagai bagian dari Warisan Budaya Takbenda Indonesia, yang memperkuat identitas budaya Kalimantan Timur dan memperkenalkan kekayaan budaya Samarinda kepada masyarakat luas.