IKNPOS.ID – pembangunan di Kalimantan harus beralih dari pendekatan eksploitatif ke arah yang lebih berkelanjutan dan berpihak pada masyarakat lokal, terutama masyarakat adat.
Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid pada kuliah umum di Universitas Mulawarman. Dalam kesempatan itu ia memaparkan upaya dalam memajukan ekosistem kebudayaan di wilayah Kalimantan.
“Kalimantan, dengan kekayaan alamnya yang luar biasa, menghadapi tantangan berat akibat pembangunan yang tidak terkendali. Hilangnya hutan primer dan kebakaran hutan berdampak serius pada lingkungan, kesehatan, dan tatanan sosial budaya masyarakat adat,” ujar Hilmar, Selasa 8 Oktober 2024.
Ia juga menekankan pentingnya perencanaan budaya partisipatoris, di mana masyarakat adat dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan di wilayah mereka.
“Masyarakat adat memiliki hak untuk mengelola dan melindungi sumber daya alam yang menjadi bagian dari warisan budaya mereka,” tambahnya.
Hilmar mencontohkan sistem pertanian ladang berpindah atau uma yang diterapkan oleh masyarakat Dayak. Meskipun sering disalahpahami sebagai perusak hutan, praktik ini merupakan metode pertanian yang adaptif dan berkelanjutan.
“Ladang yang ditinggalkan sementara waktu memungkinkan regenerasi alam, mendukung kelestarian hutan,” jelas Hilmar Farid.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya pemberdayaan pengetahuan lokal berbasis diversitas biokultural. Pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, pertanian, dan air telah teruji oleh waktu.
“Sistem lebak lebung yang dipraktikkan oleh masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan adalah contoh bagaimana masyarakat lokal mengelola sumber daya alam dengan memperhatikan daur regenerasi,” paparnya.