Bukankah sepanjang hari itu ia mengemudi mobil? Dari Guangzhou ke Foshan, lalu lanjut ke Shenzhen?
Bukankah mereka masih akan mengemudi lagi untuk mengantarkan saya ke hotel? Tidakkah ia nanti ditangkap polisi karena ketahuan baru saja minum minuman keras?
Dua teman saya dari Jakarta pun ikut minum bai jiu. Tinggal saya yang boleh mengemudi. Jangan-jangan saya yang akan diminta pegang setir. Tapi, itu tidak mungkin. Mereka tidak akan menyerahkan Denza itu ke saya. Saya tidak punya SIM yang berlaku di Tiongkok.
Akhirnya saya tanyakan itu langsung kepada mereka: siapa yang nanti pegang kemudi? Ternyata bukan saya. Mereka sudah punya jalan keluar. Khas Tiongkok zaman sekarang. Tidak mungkin cara itu bisa dilakukan di Amerika Serikat –biarpun sama-sama suka minum dan sama-sama punya teknologinya.
Aplikasilah yang akhirnya membuat hobi mereka minum bir, anggur merah, dan bai jiu tidak lagi terhambat oleh aturan.
Dulu, di satu meja makan, saya selalu punya teman yang tidak minum bai jiu. Yakni, salah satu yang akan bertugas mengemudi.
Tapi, dengan adanya aplikasi itu, saya pun mati kutu. Hanya saya yang tidak minum. Apa boleh buat. Pakai alasan pernah transplantasi hati –dan mereka mengerti.
Tidak usah khawatir, kata mereka. Kini sudah ada aplikasi untuk mendatangkan sopir panggilan!
“Nanti Bapak bisa lihat sendiri,” kata mereka.
Maka, gelas kecil bai jiu pun terus berdenting. Saling sulang. Sepanjang dua jam makan malam. ”Gan bai!”
Malam itu menunya baru –untuk saya. Hotpot, tapi bukan mirip Haidilao. Juga, tidak mirip gaya Sichuan, Mongolia, maupun Niu Jie-nya muslim Beijing.
Ini hotpot bubur.
Ada bubur nasi encer di panci di tengah meja. Kompornya listrik. Bubur mendidih. Panas. Uap mengepul. Irisan-irisan ikan kerapu dimasukkan ke bubur itu. Diaduk. Matang. Irisan ikannya diangkat. Disajikan.
Fillet ikan itu dimakan dengan ramuan bumbu seperti di Haidilao. Ada sembilan bahan ramuan. Pilih sendiri kombinasinya.
Saya pilih kombinasi saus wijen, bawang putih, taoco, saus tomat, dan dua jenis irisan daun bawang. Saya tidak memasukkan cabai, cuka, dan beberapa jenis minyak.
Sementara kami makan fillet ikan itu, giliran udang dimasukkan ke bubur. Diaduk. Masak. Udang diangkat. Dibagi. Saya meneruskan makan ikan. Tidak makan udang.
Sehari sebelumnya saya sudah banyak makan udang. Masakan istri saya. Hasil panen udang di Lombok Timur.
Belum lagi udang habis dimakan, ganti beberapa jenis seafood dimasukkan ke bubur: irisan bao yi (abalone), oyster, dan cumi. Diaduk. Matang. Disajikan.
Lalu, dimasukkan lagi daging. Diaduk. Bubur nasinya kian lembut. Kian panas. Masih beberapa macam lagi yang dimasukkan ke situ.
Masih ada hati angsa, ikan goreng fillet, baby buncis, dan bumbu wasabi.
Kapan makan buburnya?
Terakhir! Ketika bubur itu sudah lumat selumat-lumatnya. Sudah pula gurih karena berbagai rasa seafood sudah menyatu di dalamnya.
Kami pun menutup makan malam dengan bubur panas.
Makanan habis. Anggur merah habis. Bai jiu pun gan bei le.
Kami terseok ke gedung parkir. Terlalu kenyang. Sambil berjalan, mereka membuka aplikasi. Mencari sopir panggilan.
Tidak sampai 10 detik, sudah ada yang “ambil” panggilan itu.
Sang sopir datang dengan mengendarai sepeda. Ngebut. Sepeda pun dilipat. Dimasukkan bagasi. Ia siap mengemudi. Aman. Tidak akan ditangkap polisi.
Saya minta sepeda itu diturunkan lagi. “Bikin video dulu. Untuk Instagram,” pinta saya.
Sopir panggilan itu pakai seragam bersetrip mengilat. Kami meninggalkan restoran. Beberapa orang seperti Pak Sopir duduk-duduk di dekat hotel. Bersama sepeda lipat mereka.
Oh… Mereka juga lagi menunggu panggilan para peminum. Selalu ada jalan keluar. Di mana pun. Untuk apa pun. (Dahlan Iskan)