Maksud saya: jangan sampai Janet minta chinese food tiap hari.
Saya tidak bisa menemukan masakan Indonesia di jalur ke bagian selatan Amerika ini –entah kelak kalau sudah memasuki San Diego dan kota-kota lain di California.
Di perjalanan ini pula saya dengar: Presiden Donald Trump dinyatakan bersalah.
Pertama dalam sejarah Amerika: mantan presiden diadili dalam perkara kriminal.
Pertama pula dinyatakan bersalah.
Tinggal tunggu putusan hakim 11 Juli depan. Ancaman hukumannya maksimal 4 tahun untuk setiap dari 34 tuduhan tapi diperkirakan hakim akan menghukum ringan.
Bahkan banyak suara agar Presiden Joe Biden berjiwa besar: dekritkan pengampunan untuk Trump –biar pun calon lawannya di Pilpres lima bulan lagi.
Sewaktu berhenti pertama di Tulsa –apa boleh buat– harus makan daging. Itu makanan lokal. Harus cari steak yang khas Oklahoma. Ketemu: Joe’s Oklahoma.
Saya pun lihat daftar menu. Saya langsung menunjuk: rib eye. Dengan pendampingnya baked potato.
“Itu hanya untuk hari Sabtu,” ujar pelayan.
Telanjur berliur.
Saya garuk-garuk kepala. Lama. Terasa kena PHP zam zam. Pelayan itu mungkin iba melihat wajah setengah hitam di depannyi.
“Hari ini kami bisa buatkan tapi harganya beda,” ujarnyi. Saya anggukkan kepala, tanpa bertanya 19 dolar di menu itu menjadi berapa.
Ternyata dia tidak iba kepada dompet saya.
Saya hanya pesan dua untuk tiga orang. Satu porsi pun, porsi Amerika, bisa untuk empat orang perusuh Disway.
Setelah disajikan kami saling pandang: bagaimana cara menghabiskannya.
Di Dallas kami harus bertemu teman. Asal Tiongkok. Maka kami janjian makan di chinese food: bebek panggang, tumis kacang panjang muda, terong bumbu taocho, tahu sapo. Dan… Ini dia: nasi. Sudah dua minggu tidak jumpa nasi.
Dari Dallas ke Austin sudah dekat. Tinggal tiga jam bermobil. Setelah ke Universitas Texas di Austin, menunya ganti Vietnam Food. Pho. Tidak ada yang mangkoknya kecil. Lihat ukuran mangkok yang disajikan di meja sebelah saja sudah tidak lagi lapar. Maka kami hanya pesan dua mangkok untuk tiga orang.