IKNPOS.ID-Dalam rencana induk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara , disebutkan bahwa prinsip dasar pengembangan Kawasan IKN adalah pembangunan yang berorientasi pada alam, teknologi, dan keberlanjutan lingkungan.
Pembangunan IKN juga berdasarkan pada mitigasi risiiko akibat perubahan iklim dan dampak urbanisasi seperti bencana banjir dan kekeringan.
Salah satu prinsip dasar pengembangan Kawasan IKN adalah pengembangan berdasarkan konsep kota spons (sponge city).
Konsep sponge city yang diterapkan dalam pengembangan Kawasan IKN bertujuan untuk mengembalikan siklus alami air yang berubah karena perubahan tata guna lahan akibat pembangunan.
Konsep sponge city diperkenalkan pada tahun 2000 oleh arsitek Tiongkok yang bernama Kongjian Yu.
Mengutip dari berbagai sumber, Sponge city adalah konsep pengelolaan air perkotaan yang inovatif dan berkelanjutan.
Ide dasarnya adalah mengubah kota menjadi seperti spons yang mampu menyerap, menyimpan, dan mengelola air hujan secara efektif.
Konsep ini menjadi sangat penting di era perubahan iklim karena meningkatnya risiko banjir dan kekurangan air bersih.
Sponge City bertujuan untuk mengurangi risiko banjir, meningkatkan kualitas air, dan mempromosikan penggunaan sumber daya air yang bijaksana dalam lingkungan perkotaan.
Sponge city memiliki beberapa komponen utama yang mencakup infrastruktur hijau seperti taman kota, atap hijau, dan lahan basah.
Selain itu, peningkatan sistem drainase perkotaan juga diperlukan dengan penggunaan kolam retensi, jaringan pipa, dan penggunaan teknologi canggih untuk mengumpulkan, menyaring, dan memanfaatkan air hujan.
Dalam pengembangan sponge city, penting untuk mempertimbangkan faktor ekologi, estetika, dan keberlanjutan dalam mengintegrasikan solusi infrastruktur yang ramah lingkungan.
Beberapa kota yang telah dirancang dan beradaptasi dengan sebagian infrastruktur sebagai sponge city misalnya, di Tiongkok, kota-kota seperti Baicheng, Qian’an, Jiann, Xixian, Shanghai, dan Shenzhen.
Negara Tiongkok telah menetapkan tujuan untuk memiliki area-area perkotaan yang mampu menyerap sebagian besar air hujan pada tahun 2030. Di luar Tiongkok, ada juga beberapa contoh sponge city.
Misalnya, Auckland sebagai kota paling “spongy” dari tujuh kota global lainnya, termasuk Nairobi, Singapura, Mumbai, New York City, Shanghai dan London. Philadelphia adalah salah satu kota pertama di AS yang mengatasi masalah manajemen air perkotaan dengan mengambil langkah-langkah signifikan sesuai konsep sponge city.
Konsep sponge city yang mengubah kota layaknya spons yang mampu menahan air hujan diterapkan dalam pengembangan Kawasan IKN.
Pembangunan Kawasan IKN yang berdasarkan konsep sponge city diwujudkan dalam perencanaan kawasan yang memiliki ruang terbuka hijau dan biru yang tersebar luas dan tersambung dalam satu-kesatuan tata hidrologis.
Desain fasilitas perkotaan yang mampu menahan dan menyerapkan air hujan dengan cepat melalui pembangunan atap hijau pada bangunan gedung, pembangunan jalan dan trotoar berpori, dan pembangunan sistem bioretensi.
Prinsip penerapan sponge city di wilayah IKN adalah mengurangi limpasan permukaan, memaksimalkan peresapan air hujan, dan pemanenan air hujan. Pengembangan kawasan IKN sebagai sponge city memiliki tiga tujuan yaitu:
- Kota Nusantara (Archipelago city)
Integrasi daerah detensi (koridor hijau dan biru) untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menunjang ketersediaan air bersih. Ruang terbuka hijau dan badan air menjadi fondasi struktur pembentuk kota.
- Kota Penyerap (Absorbent city)
Limpasan air hujan yang mengalir akan diarahkan untuk dikumpulkan di taman kota. Taman kota berfungsi sebagai ruang terbuka hijau yang dinamis dan bersifat seperti spons yang menyerap air limpasan. Koridor hijau dan biru berfungsi sebagai penangkap limpasan kota dan menjadi koridor fauna sekunder.
- Kota Terpadu (Integrated city)
Elemen-elemen fasilitas perkotaan di skala blok diintegrasikan sebagai elemen yang mampu mengumpulkan air hujan dan meningkatkan daya serap tanah sehingga dapat berkontribusi dalam perbaikan lingkungan habitat.
Pengembangan kawasan IKN sebagai sponge city tidak dapat dilepaskan dari wilayah sekitar IKN.
Keberhasilan pengembangan kawasan IKN sebagai kota berkelanjutan tergantung dari dukungan wilayah sekitar. Sehingga penerapan sponge city perlu kerja sama yang harmonis dengan wilayah mitra sekitar.
Secara administratif, wilayah IKN terletak di antara dua kabupaten, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara (Kecamatan Penajam dan Sepaku) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kecamatan Loa Kulu, Loa Janan, Muara Jawa,dan Samboja).
Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) sebagai salah satu yang berbatasan dengan Wilayah IKN telah memiliki peraturan mengenai rencana tata ruang wilayah.
Peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 3 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2013-2033.
Dalam peraturan rencana tata ruang tersebut, Kecamatan Sepaku merupakan wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan taman hutan raya dan kawasan hutan produksi.
Selain itu, Kecamatan Sepaku juga akan dikembangkan sebagai pusat kawasan industri berbasis sumber daya alam dan kawasan pariwisata alam. Sehingga secara tata ruang wilayah, daerah di sekitar IKN telah mendukung pengembangan kawasan IKN sebagai sponge city.
Meskipun sponge city menawarkan banyak manfaat, hanya saja penerapannya dihadapkan pada beberapa tantangan, seperti biaya investasi awal yang tinggi dan pengelolaan jangka panjang yang kompleks.
Selain itu, tantangan lainnya termasuk ketidakpastian mengenai kondisi hidrologi masa depan yang terkait dengan proyeksi perubahan iklim, yang mempersulit perencanaan perkotaan dan merancang infrastruktur yang akan sesuai dengan tujuan.