IKNPOS.ID – Penetapan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook menuai sorotan dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi.
Salah satu pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., berpendapat bahwa penetapan tersebut sudah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Menurut Prof. Eva, dalam hukum pidana, penetapan status tersangka tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
“Penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Agung, pasti memiliki minimal dua alat bukti yang sah untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka,” jelasnya saata dihubungi oleh tim redaksi Disway.id, Jumat 5 September 2025.
Ia menambahkan bahwa alat bukti tersebut bisa berupa keterangan saksi, surat, petunjuk, atau keterangan ahli, yang semuanya harus saling berkaitan dan meyakinkan penyidik.
Prof. Eva juga menyoroti peran Nadiem Makarim sebagai pengambil kebijakan dalam proyek pengadaan tersebut.
Meskipun Nadiem tidak secara langsung terlibat dalam urusan teknis seperti penunjukan vendor atau penerimaan uang, ia dianggap memiliki tanggung jawab komando atau command responsibility.
“Seorang menteri tidak bisa lepas tangan begitu saja dari kasus yang terjadi di kementeriannya, apalagi jika kebijakan yang ia tetapkan menjadi pintu masuk terjadinya tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Ia menambahkan, pasal yang disangkakan kepada Nadiem, yakni Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah tepat.
“Pasal ini berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, yang dapat dilakukan oleh siapa pun yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung,” pungkasnya.
Hasyim Ashari