IKNPOS.ID – Akhir Agustus 2025 ditandai dengan gelombang demonstrasi besar-besaran yang mengguncang Jakarta serta sejumlah kota besar di Indonesia.
Aksi ini bukan hanya terjadi di jalanan ibu kota, tetapi juga menjalar ke daerah lain seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, hingga Medan.
Unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai dengan isu kenaikan biaya hidup dan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah, berkembang menjadi kerusuhan dan aksi anarkis.
Beberapa rumah pejabat serta tokoh politik ikut menjadi sasaran amarah massa.
Nama-nama seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani disebut-sebut sebagai korban penjarahan, sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa kemarahan publik telah meluas ke simbol-simbol elit politik.
Hendropriyono: Waspadai Pihak yang Mengail di Air Keruh
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono, turut angkat bicara soal fenomena ini.
Dalam wawancaranya dengan Prof. Rhenald Kasali di YouTube (31/8/2025), Hendro memberi peringatan keras agar masyarakat dan pemerintah waspada.
“Jangan sampai ada yang mengail di air keruh. Kalau sampai terjadi revolusi, yang paling banyak jadi korban adalah anak-anak,” ujar Hendro.
Ia juga menyoroti adanya fenomena ganjil di lapangan, termasuk politisi yang mendadak hadir melayat korban kerusuhan tanpa alasan jelas.
Menurutnya, langkah-langkah semacam itu bisa menjadi indikasi adanya pihak yang berupaya menunggangi situasi untuk kepentingan tertentu.
Pandangan Pro-Kontra: Konspirasi atau Realitas?
Meski peringatan Hendropriyono mendapat perhatian, sebagian kalangan menilai analisisnya terlalu “konspiratif”. Menurut para pengamat sosial, gerakan massa kali ini tidak bisa disederhanakan hanya sebagai rekayasa elite atau operasi politik.
Justru, mereka menilai aksi-aksi yang merebak belakangan ini lebih mirip jaringan rizomatik yakni pergerakan tanpa pusat, tanpa komando tunggal, dan tanpa “dalang” yang jelas.
Model gerakan seperti ini membuat strategi lama aparat, misalnya dengan memburu koordinator lapangan atau membubarkan struktur organisasi, tidak lagi efektif.
Setiap represi justru melahirkan kemarahan baru yang menyebar lebih cepat dan luas.