Oleh: Dahlan Iskan
Para habib kumpul di rumah Zein Alhadad. Sabtu pagi kemarin. Di kawasan Ampel –kampung Arab Surabaya.
Yang membuat saya terpana adalah si tuan rumah: ia pidato dalam bahasa Arab. Tanpa teks.
Saya tidak menyangka Zein Alhadad bisa berbahasa Arab. Yang saya kenal dengan baik adalah, ia penyerang yang haus gol di klub yang di masa lalu sering jadi juara di Indonesia: Niac Mitra.
Waktu Persebaya bertanding melawan Persija dua pekan lalu, Alhadad nonton. Bersamanya banyak bintang sepak bola sezamannya: mesin gol Syamsul Arifin dan Ferril Raymond Hattu.
Alhadad, biasa dipanggil Mamak, ternyata anak seorang ulama besar di Ampel. Kakek-kakeknya pun ulama besar. Zein Alhadad adalah keturunan ke-14 pendiri klan Alhadad di Hadramaut –kini disebut Yaman. Ia generasi keempat yang lahir di Indonesia.
Mamak menyambut kedatangan saya di lokasi acara itu. Sepanjang gang-gang kecil sudah penuh dengan orang bersila: pakai sarung, baju putih dan kopiah putih. Banyak di antara mereka bersorban putih. Hanya saya yang pakai kopiah hitam.
Rumah yang dipakai acara adalah rumah kuno. Besar. Pilar-pilar model Romawi terlihat gagah di terasnya. Bagian depannya terdapat tiga pintu besar. Pintu tinggi. Setiap pintu berdaun-pintu empat. Dua membuka ke depan, dua lagi membuka ke dalam.
Ternyata itu rumah Zein Alhadad. Itu rumah peninggalan ayahnya. Atau kakeknya. “Ketika saya lahir rumah ini sudah ada,” katanya.
Mamak tinggal di situ sebagai konsekuensi terlahir anak laki-laki tertua. Ia memang punya kakak, tapi perempuan. Ia harus mewarisi rumah leluhur yang besar itu.
Mamak juga harus mewarisi ”harta” lainnya: keulamaan leluhurnya. Rupanya itulah yang membuat Mamak tidak lagi bergiat di sepak bola. Tidak lagi jadi pelatih –padahal itulah keinginannya setelah pensiun sebagai pemain bintang.
Dan itu pula rupanya yang membuat Mamak akhirnya harus bisa pidato dalam bahasa Arab. Padahal ia hanya lulusan SMA di Ampel: SMA Alkhairiyah.
Setelah itu ia tidak ke mana-mana: fokus sebagai pemain sepak bola. Mulai dari Niac Mitra junior sampai menjadi pemain utama di level senior.
Begitu ayahnya meninggal –dan Mamak harus mewarisi semua peninggalan sang ayah– ia mendalami agama lebih keras.
“Dalam hal kealiman, mana yang lebih alim: Anda atau adik Anda itu,” tanya saya sambil menunjuk adiknya yang lagi memimpin bacaan Surah Yassin di rangkaian tahlil itu.
“Sekarang ia masih lebih alim. Tapi tidak lama lagi bisa saya selip,” jawabnya.
Rupanya Mamak benar-benar ingin fokus bertransformasi dari bintang lapangan sepak bola ke panggung agama.
Tidak. Rupanya tidak harus begitu. Mamak tidak akan bisa sepenuhnya meninggalkan sepak bola.
Di acara itu misalnya, ia sudah pakai kopiah putih, sorban hijau dan baju gamis panjang, tapi rambutnya masih ia biarkan keriting memanjang sampai dekat bahu. Dan baju Arab-nya masih dibungkus dengan jas hitam. Itu bukan jas biasa. Di lengannya tertempel lambang PSSI. Pun di bagian dadanya.
Mamak Alhadad memang legenda sepak bola. Saat menjadi pemain Niac Mitra, tim itu juara Galatama. Sampai tiga kali atau empat kali. Masih ditambah juara berbagai turnamen. Ia satu angkatan dengan pemain impor David Lee dan Fandi Ahmad. Juga dengan pemain lokal seperti Hanafing, Rudy Keltjes, dan Djoko Malis.
Yang membuat publik bola sangat simpati padanya adalah: ia tipe pemain yang setia. Sepanjang karirnya Mamak hanya bermain untuk satu klub: Niac Mitra.
Ketika bintang lain pindah ke klub lain Mamak tetap di Niac Mitra. Ketika ia dirayu dengan bayaran lebih tinggi pun tekadnya tetap di Niac Mitra.
Acara haul kemarin itu sendiri adalah bagian dari ”warisan” yang harus diterima Mamak. Setelah ayahandanya meninggal, Mamaklah yang setiap tahun harus melaksanakan haul itu.
Acara itu sudah jadi agenda tahunan. Tanpa ada undangan pun orang berdatangan. Pun kerabat dan santri dari Tarim di Hadramaut sana. “Tahun ini yang datang dari Tarim tujuh orang,” ujar Mamak.
“Sudah berapa kali Anda ke Tarim?”
“Sudah dua kali.”
Sabtu kemarin ternyata saya tidak hanya menghadiri haul ke 70 Habib Husein bin Muhammad bin Thohir Alhadad. Hari itu saya juga melihat proses transformasi dari seorang bintang jasmani ke panggung rohani. (Dahlan Iskan)