Bagaimana solusinya?
Mudah sekali. Bukan saja mudah. Solusi ini justru membuat NU ”naik kelas”. NU akan menjadi organisasi yang modern dan mengajak modern. Sekaligus menjunjung tinggi akhlak dalam berbisnis. NU akan menjadi contoh keterbukaan.
Solusinya: “Tenderkan!”
Beres. Tidak peduli siapa yang akan memenangkan tender itu nanti. Kalau pun yang menang perusahaan yang dekat penguasa lama bukan berarti NU itu kacang, penguasa lama itu kulit.
Begitu pula kalau yang menang adalah pengusaha yang dekat dengan pemerintah baru, ya memang sudah takdirnya. Pun kalau yang menang bukan dua-duanya.
NU tinggal menunjuk konsultan untuk menyusun ”tata tertib” tender. Termasuk menentukan harga dasar yang akan diperoleh NU: dapat berapa dolar per ton batubaranya. Setelah itu tinggal laksanakan tender terbuka. Kalau perlu panitia tendernya dari universitas Katolik terkemuka.
Fitnah tidak akan hilang. Terutama kenapa orang-orang itu yang diangkat menjadi panitia lelang. Yang jadi panitia tender pun akan penuh fitnah: memihak siapa.
Kalau saja solusi tender ini dipakai maka NU masuk ke dunia profesional dalam mengurus bisnis. Kalau tidak ada kepentingan pribadi di dalamnya pastilah pilih ditenderkan saja. NU justru akan dapat hasil lebih besar.
Tentu juga tergantung harga batu baru di pasar internasional.
Sambil menunggu tender itu sekalian dilakukan persiapan di internal NU. Akan dikemanakan uang triliuanan rupiah setiap tahunnya itu. Saya dengar NU lagi menyiapkan koperasi Yalal Wathon. Yang akan menyentuh sampai lapisan terbawah warga NU di ranting-ranting.
Itu pekerjaan besar. Pekerjaan teknokratis. Akan seperti apa koperasi itu nanti. Masih terlalu awal untuk dibahas di sini.
Maka saya akan melihat apakah teori Nassim Nicholas Taleb yang disebut antifragility akan berlaku di NU: yakni turbulensi ini justru akan membuat kemajuan di NU.(Dahlan Iskan)




















