Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 6 Desember 2025: Yalal Batubara
Hasyim Muhammad Abdul Haq
Saya kurang setuju ada pemecatan Gus Yahya karena yang tampak dari luar dari pemecatan itu adalah ada yang ingin merebut jabatannya Gus Yahya. Di sisi lain, juga kurang setuju kalau Gus Yahya mempertahankan posisinya karena akan terlihat orang NU berat kehilangan jabatan di PBNU. Organisasi NU -yang saya tahu dari Bapak saya- itu bukan organisasi duniawi yang kita berebut jadi pimpinan. Kalau diutus jadi pimpinan ya dijalani dengan baik. Kalau jabatan itu diminta lagi ya tinggal dikasihkan. Yang saya tahu, merebut dan juga mempertahankan jabatan di NU itu bukan ajaran NU. Alm. bapak saya dulu orang Depag (kemenag). Buka usaha percetakan. Aktif di NU Mojokerto. Pernah jadi ketua. Menjadi salah satu pendiri RS Sakinah Mojokerto yang sampai sekarang bisa jadi penyumbang dana yang besar ke PCNU Kab Mojokerto. Jauh sebelum NU dapat duit dari tambang. Salah satu bestie-nya bapak saya adalah: Abah Mukri, abahnya mas Olik yang kemarin ganti hati. Bulan lalu saya sowan ke Abah Mukri dan dapat cerita lengkap versi beliau soal ganti hatinya mas Olik. “Saya itu nggak pernah kenal Pak Dahlan Iskan. Tapi beliau menolong anak saya seperti menolong anaknya sendiri,” cerita Abah Mukri dengan bersemangat. Ah, saya yang dengar cerita panjang beliau malah berkaca-kaca terharu.
Agus Suryonegoro III – 阿古斯·苏约诺
TAMBANG NU DAN UJIAN DEWASA ORGANISASI.. Bagi saya, heboh pemecatan dan silang pendapat soal tambang NU ini justru membuka satu pertanyaan sederhana: apakah NU sudah siap menjadi organisasi besar yang bermain di liga ekonomi berat? Tambang 25.000 hektare berisi satu miliar ton batubara itu bukan sekadar rezeki nomplok—itu ujian kedewasaan. Selama ini NU dikenal kuat di soal sosial, pendidikan, dan keagamaan. Tapi ketika masuk ke dunia batubara, yang penuh jurang licin dan aroma “12 penipu,” NU harus memakai kacamata baru. Bukan soal dekat presiden lama atau baru; ini tentang kemampuan membangun tata kelola yang tidak memalukan jamaahnya sendiri. Kalau NU bisa menetapkan aturan main yang tegas, transparan, dan rapi, itu akan jadi sinyal penting: bahwa organisasi keagamaan terbesar di Indonesia mampu mengelola bisnis tanpa terjebak drama politik. Bahwa NU bisa amanah di ruang yang biasanya bikin banyak orang tergelincir. Turbulensi internal ini mungkin terasa tidak nyaman, tapi justru dari sinilah NU belajar: bukan hanya kuat berdebat, tapi juga kuat mengelola aset bernilai triliunan. Dan kalau itu berhasil, NU bukan sekadar antifragile—NU naik kelas sebagai organisasi modern yang matang.





















