“Apa rencana Anda setelah mendapat rehabilitasi dari Presiden Prabowo?”
Itulah pertanyaan saya saat makan malam dengan Ira Puspadewi dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Saat itu mereka baru tiga hari lepas dari tahanan.
“Belum tahu. Ini masih jetlag,” ujar Harry Muhammad Adhi Caksono setengah bercanda. “Iya, masih jetlag,” timpal Ira lantas tertawa.
Salah satu bentuk jetlag itu soal cahaya. Mereka sudah terbiasa cahaya lampu redup di tahanan. Hari pertama tidak lagi di tahanan, Ira merasa lampu rumahnya terlalu terang.
“Sampai saya minta lampunya diganti,” ujar Ira, mantan direktur utama BUMN PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) itu.
“Ini lampu lama,” ujar Zaim Uchrowi, suami Ira, menjawab permintaan istrinya itu. Rupanya Ira benar-benar sudah terbiasa dengan lampu redup selama 10 bulan di tahanan.
Saya pun minta Ira dan Harry bisa cepat mengatasi jetlag. Harus segera move on. Tidak boleh menangis lagi. Jangan terus melayani permintaan wawancara media. Stop. Saya lihat Ira masih menahan tangis setiap tampil di media.
“Masih banyak yang nasibnya lebih jelek dari kalian. Contohnya ….,” ujar saya.
Ketika Ira mau bercerita banyak soal ketidakadilan yang dia alami, saya cegah. Ketika mau bercerita framing kejahatan yang digiringkan kepadanyi, saya bilang saya tidak mau mendengarnya. “Ada yang mengalaminya lebih parah dari Anda,” kata saya.
Malam itu kami hanya order gurami asam-manis, sayur kailan yang dikeringkan, dan nasi putih satu piring dibagi tiga. Lalu air putih.
Hampir jam delapan malam kami baru mulai makan. Di Pacific Place. Hiasan Natal selalu sangat menarik di lobi mal tersebut.
Ups… Ira bertemu teman lamanyi di situ. Juga berjilbab. Sama cantiknyi. Mereka berangkulan lama. Saling menyapa. Berangkulan lagi. Ira menahan tangis. Berangkulan lagi. Lalu si teman bikin video call dengan keluarganyi untuk menunjukkan siapa yang sedang bersamanyi. Ira dan wanita itu lantas asyik bicara dalam bahasa Sunda.
“Siapa dia?” bisik saya setelah Ira meninggalkan temannyi itu.




















