IKNPOS.ID – Minat masyarakat Indonesia terhadap aset kripto melonjak tajam sepanjang tahun 2024 hingga 2025.
Data resmi menunjukkan bahwa nilai transaksi kripto tumbuh lebih dari 350 persen hanya dalam waktu satu tahun.
Fenomena ini menandai babak baru dalam dunia investasi Indonesia. Semakin banyak anak muda, terutama generasi berusia 20–35 tahun, menjadikan kripto sebagai alat diversifikasi investasi menyaingi saham, reksa dana, hingga emas.
Namun, di balik euforia ini, ada risiko besar yang perlu diwaspadai. Mulai dari volatilitas harga yang ekstrem, penipuan digital, hingga perubahan regulasi pajak yang mulai diterapkan pemerintah.
Lonjakan Besar Transaksi Kripto: Bukti Antusiasme Generasi Muda
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai perdagangan kripto nasional naik lebih dari 354 persen dibanding tahun sebelumnya.
Dalam delapan bulan pertama 2024 saja, volume transaksi sudah menembus ratusan triliun rupiah.
Indonesia kini bahkan menempati peringkat empat besar dunia dalam adopsi kripto dan keuangan terdesentralisasi (DeFi).
Tidak hanya sekadar membeli dan menjual aset digital, masyarakat Indonesia mulai aktif menggunakan fitur keuangan berbasis blockchain seperti staking, lending, hingga yield farming.
Kondisi ini menunjukkan bahwa aset digital bukan lagi tren sesaat, melainkan bagian dari transformasi finansial masyarakat modern Indonesia.
Apa yang Membuat Warga Indonesia Kian Tergiur Investasi Kripto?
Lonjakan besar ini tidak lepas dari sejumlah faktor pendukung, antara lain:
Kemudahan akses digital.
Banyaknya aplikasi kripto yang mudah digunakan membuat siapa pun bisa berinvestasi hanya lewat ponsel.Pengaruh tren global dan media sosial.
Influencer dan komunitas keuangan digital turut mempopulerkan kripto sebagai jalan menuju “financial freedom.”Diversifikasi aset.
Investor muda mencari alternatif dari pasar saham dan properti yang mulai stagnan.Potensi keuntungan tinggi.
Beberapa token mencatat kenaikan nilai hingga ratusan persen dalam waktu singkat.
Namun sayangnya, banyak investor pemula masuk tanpa bekal literasi keuangan yang cukup. Hal ini membuat mereka rentan terhadap penipuan, token “abal-abal”, hingga panic selling saat harga jatuh.