Dengan cara staging itu cash flow perusahaan akan lebih baik. Perusahaan bisa segera dapat uang untuk menggerakkan proyek pengembangan berikutnya.
Di era Presiden Prabowo PGE seperti dapat booster baru. Swasembada energi menjadi salah satu prioritas pemerintahan Prabowo.
Apakah itu berarti prioritas pendanaan negara pun akan mengutamakan proyek seperti geothermal?
Geothermal adalah pilihan proyek yang harusnya siapa pun tidak ragu: utamanya Danantara. Tidak akan ada yang mencela kalau dana Danantara mengalirkan investasi ke sini. Tidak akan seperti ketika Danantara justru mengalirkan uang ke yang bukan prioritas pembangunan presiden –Anda tahu ke siapa itu.
Geothermal ini proyek komplit: mulia (green), diperlukan masyarakat, hitungan bisnisnya jelas. Apa lagi yang masih harus dipikirkan.
Tahun 1983 kita sudah punya geothermal: panas bumi Kamojang. Di Jabar. Di kanan jalan –kalau Anda dari Garut ke arah Bandung. Selama 40 tahun Kamojang baru bisa dikembangkan menjadi 235 MW. Proyek terakhir di Kamojang dimulai tahun 2010 –selesai dibangun 2015. Yang terakhir itu sudah hampir 10 tahun lalu.
PGE punya ijin geothermal sampai 3.000 MW. Di berbagai daerah. Yang sudah dikerjakan baru 770 MW. Dua tahun lagi baru pecah menjadi 1.000 MW.
“Target kami 3000 MW bisa tercapaii,” kata Julfi.
Kalau itu tercapai Indonesia bisa menjadi juara dunia geothermal. Kini juaranya Amerika Serikat: 3.400 MW. Nomor 3 Filipina: 1.900 MW. Kalau PGE bisa 3.000 MW, maka ditambah milik swasta bisa 3.450.
Memang hambatan untuk mencapai itu tidak hanya soal besarnya dana investasi. Hambatan terbesar justru di “kerukunan keluarga”. Yakni sesama “keluarga Danantara”–dulu “keluarga BUMN”.
Anda sudah tahu maksud saya: antara PLN dan Pertamina. Lebih tepatnya antara anak perusahaan PLN dan anak perusahaan Pertamina.
Di situ Pertamina sebagai penjual listrik. PLN sebagai pembelinya.
Pertamina tentu mau jual listrik dengan harga setinggi mungkin. PLN mau beli listrik semurah mungkin.
Tidak ketemu.
Pembicaraan harga itu bisa memakan waktu bertahun-tahun. Sulit mendapat kesepakatan. Situasi pun seperti musuh dalam selimut. Bicara-bicara tapi tidak ada gerakannya.