IKNPOS.ID – Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh, tengah menjadi sorotan publik.
Kebijakan tersebut dinilai berani sekaligus menimbulkan pertanyaan besar, jika bukan APBN, lalu siapa yang akan menanggung beban utang proyek infrastruktur besar tersebut?
Proyek Kereta Cepat Whoosh merupakan hasil kerja sama antara Indonesia dan China, dengan skema pendanaan melibatkan BUMN melalui PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Pembiayaan utamanya berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), dengan nilai mencapai miliaran dolar AS.
Meski pembangunannya telah rampung dan beroperasi sejak 2023, proyek ini masih meninggalkan beban finansial yang cukup besar. Dalam beberapa bulan terakhir, isu penambahan modal dan kemungkinan penggunaan dana APBN untuk menutup kekurangan pembiayaan kembali mencuat.
Dalam pernyataannya, Menkeu Purbaya menegaskan bahwa APBN tidak boleh digunakan untuk menanggung utang proyek yang tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Menurutnya, proyek tersebut adalah hasil kerja sama bisnis antara BUMN Indonesia dan mitra Tiongkok, sehingga penyelesaiannya harus dilakukan secara korporatif, bukan fiskal. Negara tidak bisa terus-menerus menanggung utang yang muncul dari keputusan bisnis.
Menurutnya, Whoosh telah dikelula Danantara, bahkan 80 peren dividen telah diambil dari BUMN.
“Whoosh sudah dikelola oleh Danantara kan? Danantara sudah mengambil 80 persen lebih deviden dari BUMN, harusnya mereka beres dari situ saja. Malah bisa bagus kalua mereka bisa bayar dari situ,” tukasnya kepada awak media, Senin 13 Oktober 2025.
Seharusnya, lanjut Purbaya, jika keuntungan telah diambil Danantara maka APBN tidak perlu menanggung pembayaran utang.
“Jadi kalao APBN agak lucu karena keuntungan ke dia, susahnya ke kita, harusnya kalua mau diambil diambil aja semua gitu,” ujar Purbaya.
Sikap tegas ini langsung memicu perdebatan, terutama di kalangan ekonom dan pengamat kebijakan publik. Sebagian menilai langkah Purbaya sebagai bentuk disiplin fiskal, sementara yang lain khawatir keputusan tersebut bisa memperlambat penyelesaian utang dan menurunkan kepercayaan investor.