Sayalah yang justru kesusu pulang. Saya memang masih harus ke Lebanon, tapi hanya numpang lewat. Saya hanya ingin merasakan perbatasan Syria-Lebanon. Saya pernah begitu ingin menyeberang dari Lebanon ke Syria. Lima tahun lalu. Tidak kesampaian. Kini harus terjadi.
Kami sudah membeli tiket pulang dari bandara Beirut. Bukan dari Damaskus. Hambatan utama untuk lewat Beirut adalah: Janet dan suami tidak punya visa Lebanon. Saya sudah punya. Pun Gus Najih Arromadoni.
Spekulasi saja. Rasanya mereka akan bisa dapat visa Lebanon di perbatasan. Alasannya: hanya numpang lewat menuju bandar Beirut.
Pun hanya untuk numpang lewat harusnya tidak boleh. Tapi ini kan sama-sama Tanah Syam. Siapa tahu dua negara serumpun tidak terlalu ketat.
Akhirnya lolos.
Pukul 13.30 sudah bisa menyeberang ke Lebanon. Perbatasan ini berupa pegunungan. Beirut terlihat ada jauh di bawah sana.
Pesawat kami ke Jakarta –lewat Doha– masih pukul 01.30. Berarti kami punya waktu 12 jam di Beirut. Tapi tidak bisa banyak halan-halan. Hari itu hari khusus di Beirut: haul pertama Hasan Nasrullah. Anda sudah tahu siapa ia. Dan seperti apa haulnya.
Selama di Syria saya melihat negara itu serba berubah. Benderanya berubah. Lambang negaranya berubah. Lagu kebangsaannya berubah. Yang serba Al Assad diubah.
Lagu kebangsaan Syria pun dianggap lagunya Assad. Ḥumāt ad-Diyār tidak dinyanyikan lagi. Anda lihat sendiri: waktu tim sepak bola Syria bertanding yang dinyanyikan adalah lagu Fī Sabīli al-Majd (Jalan Keagungan).
Hanya satu yang tidak berubah: uang Syria. Tetap saja pound –dengan gambar masih Presiden Basyar Al Assad di bagian depannya. Uang memang beda. (Dahlan Iskan)