Di layar promosi tertulis: “Dea, Roti Halal untuk Semua”. Tidak hanya halal. Masih ada lagi kalimat: “Halal dan Thoyib”.
Kalau “halal” berarti bahan-bahan yang dipakai tidak ada yang mengandung unsur haram, “thoyib” adalah cara mendapatkan semua bahan itu secara baik: tidak lewat cara curang, menipu, menyengsarakan orang lain, dan sebangsanya. Pun cara pengolahannya.
Lalu perusahaan Bu Mul mewajibkan karyawan “cuti khusus” dua minggu dalam setahun. Khusus untuk mukim di pondok. Memperdalam agama dan isi Al Quran. Secara bergilir. Bergantian.
Saya pun bertanya: “Apakah tidak mau ambil kredit bank itu lantaran takut riba?”
Jawab bu Mul agak di luar dugaan saya.
“Tidak,” katanyi. “Mungkin hanya karena saya wanita. Lebih banyak pakai otak kiri,” tambahnyi.
Lalu Bu Mul membuka rahasia gaya hidupnyi. “Saya ini orang yang selalu hidup di bawah garis kemampuan,” katanyi. Saya tertawa –terkecoh dengan kalimat plesetan itu.
“Dulu, ketika uang saya sedikit, saya sudah merasa cukup. Kini uang saya banyak juga hanya merasa cukup”.
Meski dua tahun terakhir mampu membuka 12 outlet baru, tidak berarti tiap tahun membuka outlet. Pernah beberapa tahun sengaja tidak mau buka outlet baru. Dia pilih benah-benah internal Dea. Termasuk hanya fokus pada kebersihan dan kesehatan di pabriknyi.
Cara bicara Bu Mul agak khas –menandakan bukan orang Malang. Bunyi ‘r’ nyi cedal.
“Saya Tionghoa,” katanyi.
Campuran?
“Asli. Bapak saya Tionghoa. Ibu saya Tionghoa,” katanyi.
Saya pun memperhatikan mata dan wajahnyi.
Saya pun bertanya ke Pak Lurah yang satu meja dengan saya. “Apakah Pak Lurah tahu kalau bu Mul ini Tionghoa?”
“Baru tahu sekarang,” katanya.
Saya juga baru tahu kemarin itu. Padahal saya sudah kenal bu Mul delapan tahun lalu. Waktu itu ada forum UMKM.
“Siapa yang sudah pernah merasakan bangkrut?” tanya saya di awal bicara.
Yang angkat tangan banyak sekali. Lebih 20 UMKM.
Lalu pertanyaan saya ubah: siapa yang pernah bangkrut lebih lima kali?
Satu wanita berjilbab angkat tangan. Itulah Bu Mul.
“Sudah pernah bangkrut berapa kali?”



