Al Majidiyah tergolong baru dibanding pesantren lain di Madura seperti Banyuanyar dan Bata-bata. Tapi mereka masih satu rumpun keluarga –semua keturunan almarhum Kiai Majid. Santrinya sekitar 4.000 orang –bandingkan dengan dua terdahulu yang masing-masing sekitar 10.000.
Tema Dakwah di era AI ini masih dirinci. Tiap debat membicarakan subtema. Misalnya AI meningkatkan atau menggerus peran ulama.
Salah satu tim secara tegas mengatakan peran ulama sangat tergerus di era AI. Ada juga yang berpendapat ulama tidak bisa tergantikan.
Salah satu tim dari Al Majidiyah mengutip ayat Quran. Lalu mereka terjemahkan dalam bahasa Mandarin. “Bertanyalah kepada ahli zikir jika kalian tidak mengetahui”.
“Tidak ada ayat Quran yang mengatakan bertanyalah ke 人工 bila kalian tidak mengetahui”, ujar tim debat itu. Saya tersenyum sendiri mendengar pendapat jenaka ini.
Peserta lomba pidato Zayyan Muhammad Al Fakih dari MA Unggulan Bina Insan Mulia saat tampil. -FOTO: MOCH SAHIROL-HARIAN DISWAY-
Maka seru juga perdebatan itu. Utamanya soal 人工 kan tidak punya hati dan perasaan. “Padahal dakwah harus dengan hati dan empati,” kata mereka.
Subtema lainnya: apakah AI lebih penting dari ulama dalam menerjemahkan/menafsirkan Al Quran. Pendapat antar tim juga tidak sama. Ada yang bilang AI lebih tepat menerjemahkan Al Quran. “Lebih objektif. Tapi bias oleh pandangan politik dan ideologi,” kata mereka.
“Tapi kesalahan tafsir oleh AI lebih berbahaya daripada kesalahan tafsir oleh seorang ulama,” kata yang lain.
Tentu kualitas isi debat tidak masuk dalam penilaian. Yang dinilai adalah kemampuan bahasa Mandarin mereka. Apalagi para juri bukanlah ahli agama. Bahkan tidak ada yang beragama Islam. Para juri adalah guru bahasa Mandarin seperti彭则翔 Peng Zexiang, 洪丽萍 Hong Liping, Elisa Christiana, Catherina Kijanto, dan Budi Wijaya. Moderator debat, Novi Basuki, memang alumnus pesantren, tapi moderator satunya, Andre So, seorang peramal lulusan Taiwan –juga salah satu pimpinan ITC Centre yang sering berkunjung ke berbagai pesantren.