IKNPOS.ID – Pemerintah pusat memberi perhatian sangat besar pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto. Hal itu terlihat dari alokasi anggaran MBG di tahun 2026 sebesar Rp335 triliun. Jumlah anggaran yang sangat fantastis.
Besarnya jumlah anggaran MBG untuk tahun depan ini menuai kritik tajam dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Alokasi dana ini, yang menyedot sekitar 44,2 persen dari total Anggaran Pendidikan Rp757,8 triliun, dinilai JPPI sebagai pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.
Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, besarnya anggaran MBG yang Rp223 triliun di antaranya diambil dari pos pendidikan adalah bentuk pengabaian terhadap masalah fundamental pendidikan di Indonesia, yaitu jutaan anak yang terpaksa putus sekolah.
“Pemerintah sibuk bicara makan gratis, tapi ironisnya, hari ini masih ada 4,1 juta anak Indonesia tidak sekolah, dan mayoritas alasannya adalah faktor ekonomi,” tegas Ubaid dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 21 Oktober 2025.
Ia menegaskan bahwa sikap abai ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih sibuk membangun pencitraan ketimbang menjalankan mandat konstitusi untuk menjamin hak dasar pendidikan.
Ini jelas melanggar Pasal 34 UU Sisdiknas dan pasal 31 UUD 1945 yang mewajibkan negara menanggung pembiayaan pendidikan dasar bagi seluruh warga negara.
“Empat juta lebih anak Indonesia hari ini tidak sekolah karena negara gagal menunaikan kewajibannya. Pemerintah boleh bicara makan gratis, tapi kalau anaknya tidak sekolah, itu artinya negara sedang memberi makan kebodohan,” katanya.
Presiden Sebut Program MBG Libatkan Hampir 19 Ribu Mitra
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa pemerintah akan mengucurkan dana sebesar Rp330 untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada 2026 mendatang.
Hal itu disampaikannya saat Sidang Kabinet Paripurna, Istana Negara, Jakarta, pada Senin 20 Oktober 2025.
“Kita tahun depan akan turunkan 330 triliun untuk MBG ini yang artinya itu 20 miliar dolar, kalau lima kali itu arti ada 100 miliar dolar beredar di desa, di kecamatan, di kabupaten. Jadi, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, uang yang disedot dari daerah ke pusat dan banyak di pusat lari ke luar negeri kita balikan,” katanya.