Di depan makam itu kami mendongak ke atas: ke puncak menara tua. Kepercayaan yang pernah ada: kelak, Nabi Isa –Jesus– akan kembali turun ke bumi lewat menara itu.
Belum banyak turis yang masuk masjid ini. Waktu salat asar baru saja berlalu. Senja menjelang. Udara sejuk. Terlihat 10-an wanita berbaju biru-muda-mencolok di halaman masjid. Mereka masuk masjid lewat pintu yang berbeda dengan laki- laki. “Aturan ini berlaku sejak pemerintahan baru berkuasa,” ujar Gus Najih.
Ada plaza berlantai batu di samping masjid. Lebih ramai lagi. Plaza itu menghubungkan pintu samping masjid dengan gerbang pasar.
Kami masuk pasar itu. Ingatan saya: seperti ketika masuk pasar kuno di Xinjiang, Tiongkok. Hampir persis. Lengkung koridor utamanya, lorong-lorong percabangannya, cara menempatkan barang di tiap kiosnya.
Berarti kuat sekali pengaruh desain pasar di Syria masa silam ke pasar Xinjiang masa lalu. Pasti ini pengaruh perdagangan jalur sutera.
Di pedalaman pasar itu kami hanya beli satu barang: es krim. Es krim kuno. Icon di pasar itu. Icon di seluruh negara. Pun saya yang sudah tahunan tidak makan es krim harus merasakannya.
Porsinya besar. Pembelinya berjubel. Pembuatan es krimnya manual. Sampai ada empat lumpang pembuat es krim di kios itu. Lumpangnya stainless steel. Sebesar dandang. Alu kecilnya berkepala besar. Alu itu untuk menumbuk bahan di dalam lumpang.
Es krimnya fresh from the lumpang.
Azan magrib pun menggema keras di dalam pasar yang padat manusia ini –70 persennya wanita. Tidak ada yang hirau. Semua tetap di kesibukan mereka. Tidak ada ekspresi wajah yang berubah.
Sampai malam pasar ini tetap ramai. Malam yang redup. Nyala listriknya seperti rembulan yang tertutup awan.
“Kita ke kampung Kristen dan Yahudi,” ajak Gus Najih.
“Di mana?” tanya saya.
“Di situ. Di depan masjid,” jawabnya. “Mepet dengan masjid,” tambahnya.
—
Itulah kampung Arab Kristen. Tidak pernah terganggu. Sepanjang masa. Pun di masa pemerintahan baru yang dipimpin mantan petinggi Taliban sekarang ini.
Kampung ini sudah sepi. Lorong-lorongnya gelap. Tapi tidak ada perasaan tidak aman berjalan malam di Damaskus. Apalagi sambil memegang es krim.