Maka Purbaya harus bekerja keras untuk mewujudkan jalan baru ekonomi Indonesia.
Secara pribadi tentu Purbaya lebih senang di LPS. “Saya menikmatinya. Di LPS itu gaji saya besar,” katanya. “Apalagi selama saya di LPS tidak ada bank besar yang bermasalah. Enak. Gaji besar pekerjaan tidak ada,” katanya. “LPS itu baru sibuk kalau ada bank besar yang bangkrut,” katanya.
Maka, begitu dilantik jadi menkeu, Purbaya mengaku langsung bertanya kepada sekjen kementerian itu: “berapa gaji saya di sini?”. Sekjen lantas menyebut satu angka. Sekian. “Wah, gaji saya turun banyak,” katanya.
“Jadi menteri itu hanya gengsinya yang tinggi. Gajinya rendah,” katanya.
Purbaya tidak takut pada faktor global. “Selama ini selalu saja yang disalahkan faktor global. Padahal 90 persen ditentukan di dalam negeri,” katanya.
Ia juga tidak terpengaruh prediksi IMF soal angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. “IMF itu tidak pinter-pinter amat,” katanya. “Kita saja yang suka silau pada asing,” tambahnya.
Swasta harusnya menyambut hangat datangnya menkeu baru ini. “Sudah ada ekonom,” kata Purbaya, “yang insyaf”.
“Saya ini di ITB dibilang insinyur yang salah jalan. Tapi oleh ekonom saya dibilang sebagai ekonom yang Instagram,” guraunya.
Yang pasti gembira adalah para kepala daerah. Daerah akan dipakai sebagai salah satu mesin pertumbuhan. Berarti dana daerah akan kembali digelontorkan.
Dalam istilah Syahganda Nainggolan, kepala daerah itu berlaku seperti di zaman penjajahan Belanda. Kalau ditekan dari atas ganti menekan ke bawah. Dana dari pusat dikurangi, mereka menaikkan pajak daerah.
Kini para aktivis ”jalan ekonomi baru” mulai berada di sekitar presiden. Anda pun ingat: itu pernah terjadi di zaman Presiden B.J. Habibie.
Waktu itu rupiah bisa dibuat menguat luar biasa: sampai di bawah Rp 10.000/dolar. Dengan waktu yang amat singkat. Tapi Habibie hanya bisa bertahan satu tahun. Politik begitu tidak stabil.
Kini Anda tahu: politik amat stabil –sampai ada yang membuatnya tidak stabil.(Dahlan Iskan)