Waktu itu belum ada WTO –organisasi perdagangan dunia. India juga masih menjadi negara yang sangat miskin –yang sama sekali tidak penting sebagai pasar produk dari Barat yang harganya mahal.
Keputusan hukum di tahun 1970 itulah yang telah menjadi fondasi mengapa saat ini India merajai pasar obat dunia. Bahkan sampai disebut sebagai ”apoteknya dunia”. Sebanyak 20 persen obat generik datang dari India. Murahnya luar biasa.
Salah satunya adalah obat kanker leukimia yang diselundupkan oleh penderita kanker di Hunan –Tiongkok tahun 2018 lalu, yang mengubah kebijakan penting sistem pengobatan di Tiongkok (baca Disway kemarin: Hasil Demo).
Misalnya obat produksi Novartis (Swiss) yang sudah punya hak paten di India. Obat kanker. Novartis adalah salah satu produsen obat terkemuka di dunia –yang juga menguasai pasar obat di Indonesia.
Obat dari Novartis itu sangat ampuh untuk kanker darah. Nama obatnya: Imatinib mesylate. Merek dagangnya: Gleevec/Glivec.
India nekat memproduksi obat jenis tersebut tanpa merasa melanggar hak paten. Dengan cara: proses memproduksinya dibuat berbeda. Ikut prinsip hakim Rajagopala.
Maka harga obat jenis itu pun terjun bebas. Obat yang asli harganya Rp 50.000 sehari, menjadi hanya Rp 3.000. Sekitar itu. Padahal pasien leukemia harus meminumnya setiap hari. Selama satu tahun. Atau lebih.
Isi obatnya sama. Khasiatnya sama. Harganya begitu jauh berbeda.
Demikian juga obat HIV yang aslinya seharga USD 30 menjadi hanya USD 1 –untuk keperluan sehari. Beda merek. Sama ampuhnya.
Setelah ada WTO, India berubah ikut aturan WTO. Tapi industri farmasinya sudah telanjur sangat maju. Harga murah. Menguasai pasar. Sudah pula mendapat kepercayaan dunia.
Kualitasnya memang dijaga. Standar mutu WHO dipenuhi. Banyak yang mendapat pengakuan FDA –BPOM-nya Amerika.
Saya teringat saat jadi sesuatu dulu –seperti yang ditulis perusuh Disway kemarin. Sebagai penderita hepatitis B akut –sampai berlanjut ke sirosis dan kanker hati– saya tahu: obatnya amat mahal.
Produk Eropa. Tidak mungkin terjangkau. Penderita hepatitis B di Indonesia begitu besar. Banyak di pedesaan pula.