Erros digambarkan oleh Butet Kartaredjasa sebagai pejuang ideologi Marhaenis sejati. Sukarnois yang Marhaenis.
Butet sendiri mengaku juga bermarhaen dari mentor yang sama dengan Erros: Bagong Kussudiardjo, bapaknya yang juga Marhaenis.
Sebagai Marhaenis sejati, Erros sampai masa tuanya sekarang ini masih ikut terjun ke lapangan. Lihatlah kiprahnya dalam membela rakyat di kasus Pantai Indah Kapuk (PIK-2).
Tentu saya baca juga tulisan para mantan awak Detik. Sastrawan terkemuka AS Laksana ternyata pernah jadi penulis pemula di media itu.
Seperti umumnya tokoh politik, Erros juga rajin membina kader. Arif Afandi, mantan pemred Jawa Pos, menjadi saksinya.
Saat Arif masih berkantor di Yogyakarta, Erros selalu ke kantornya. Diskusi apa saja dengan anak-anak muda di Yogyakarta. Arif memberikan gelar ke Erros sebagai ”kakak pembina”.
Hubungan dekat itu yang membuat Arif bisa jadi saksi: betapa Erros berperan besar menjadikan Megawati kali pertama sebagai ketua umum PDI. Yakni di Kongres PDI di Surabaya –yang oleh penguasa saat itu dianggap illegal.
Arif mengikuti Kongres itu dari dekat karena ada Erros di situ. Erroslah yang menghubungi banyak jenderal. Juga pusat-pusat intelijen. Agar Megawati bisa diterima sebagai kenyataan politik yang baru.
Membaca buku ini saya mendapat pelajaran sekali lagi: pergerakan memerlukan peran tangan kanan dan kiri dan setelah berhasil tangan kanan itu dipotong sendiri oleh yang menikmati keberhasilan itu.(Dahlan Iskan)