IKNPOS.ID – Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, menyoroti pentingnya penyaluran dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke bank-bank milik negara agar benar-benar tepat sasaran dan tidak hanya menguntungkan kalangan atas.
Dana jumbo tersebut disalurkan oleh Kementerian Keuangan ke lima bank Himbara, termasuk BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI.
Said Abdullah menegaskan bahwa dana ini harus mendorong pertumbuhan ekonomi dari bawah, bukan hanya memperkuat sektor korporasi.
“Isu utama bagi DPR bukan pada besarannya, tetapi bagaimana Rp200 triliun ini bisa meningkatkan produktivitas dan daya beli masyarakat,” ujar Said dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis, 18 September 2025.
Ia menyarankan agar alokasi dana diarahkan untuk mendukung usaha kecil dan menengah yang lebih merasakan dampaknya secara langsung.
“Kalau dana itu diambil korporasi saja, tidak akan ada efek nyata ke bawah. Harus ada pedoman yang jelas lewat PMK (Peraturan Menteri Keuangan),” tegasnya.
Said menyebut bahwa dasar hukum penempatan dana tersebut sudah kuat, mengacu pada Pasal 31 ayat 2 dan 3 dalam Undang-Undang APBN 2025 yang memberikan kewenangan kepada Kementerian Keuangan untuk mengelola saldo anggaran lebih (SAL).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah mencairkan dana ke lima bank Himbara pada 12 September 2025.
BRI, BNI, dan Mandiri masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN mendapatkan Rp25 triliun, sedangkan BSI menerima Rp10 triliun.
Purbaya menjelaskan bahwa alokasi yang lebih kecil ke BSI dikarenakan skala bank syariah tersebut yang memang lebih kecil dibandingkan bank lainnya.
Sebelumnya, menanggapi kritikan yang diberikan kepada keputusan penyaluran dana Rp 200 triliun ke bank-bank milik negara (Himbara), Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada arahan khusus yang diberikan oleh dirinya ataupun Kemenkeu kepada bank-bank tersebut.
Selain itu, dirinya juga menekankan bahwa dirinya juga memberikan kepercayaan penuh kepada bank-bank yang termasuk tersebut untuk mengelola dana Rp 200 triliun tersebut untuk sektor-sektor prioritas.



















