Perjalanan hidupnya penuh perjuangan. Pada 1819 Sultan Kutai Kartanegara ke-16 Aji Muhammad Salehuddin mengangkat Aji Galeng sebagai panglima perang. Setahun kemudian ia memimpin pasukan mengusir serangan Inggris yang merampas kebun rotan dan sarang burung walet di Muara Pahu, Toyu, dan Sepaku.
Pada 1821 Aji Galeng dinobatkan sebagai Panembahan dan ditugasi memimpin wilayah Telake-Balik yang berpusat di Lembakan dengan tugas utama bukan hanya menjaga kekayaan negeri, tetapi juga mempersatukan rakyat.
Kehebatannya semakin tampak saat menghadapi Belanda. Tahun 1825 ia memimpin pertempuran sengit di Sepaku selama 93 hari dan berhasil memukul mundur pasukan kolonial.
Pada 1880 Aji Galeng bersama cucunya Aji Sumegong selaku Adipati Sepaku sekaligus panglima muda, kembali menorehkan kemenangan besar dengan menggagalkan ambisi Belanda menguasai sarang burung walet di Toyu dan Sepaku.
Aji Galeng wafat pada 1882 dan dimakamkan di Lembakan. Namun jejak perjuangan dan semangatnya tetap hidup. Tokoh ini kini dipandang sebagai simbol persatuan, penjaga kekayaan negeri, sekaligus peletak peradaban di tanah yang kini menjadi pusat pemerintahan baru Indonesia.