Selain itu, lanjutnya, DPR juga mendorong sistem pelaporan berbasis digital secara real-time. Tujuannya agar proses penanganan TBC dapat dimonitor publik secara langsung.
Penguatan Layanan Daerah Kunci Keberhasilan (H-2)
Lebih dari 60% kasus TBC terjadi di luar Pulau Jawa. Maka, keberhasilan program nasional ini sangat bergantung pada peran aktif pemerintah daerah dan layanan kesehatan setempat.
“Jangan sampai program TBC ini hanya kuat di Jakarta. Harus menyeluruh di semua daerah di Indonesia. Fasilitas kesehatan di kabupaten/kota harus memanfaatkan anggaran. Bukan untuk rapat-rapat atau seminar semata. Tapi untuk memperkuat laboratorium, alat diagnostik cepat (GeneXpert), serta pemberdayaan kader desa,” tegasnya.
Meski target eliminasi TBC pada tahun 2030 terbilang ambisius, Nurhadi optimis hal itu bisa dicapai. Syaratnya semua pihak bersinergi secara berkelanjutan.
Ia menyoroti pentingnya pendekatan lintas sektor. Tidak hanya terbatas pada aspek kesehatan semata.
“Target eliminasi TBC 2030 adalah target yang ambisius. Tetapi bukan tidak mungkin. Rekomendasi DPR jelas. TBC harus masuk prioritas pembangunan nasional lintas sektor. Bukan sekadar urusan Kemenkes. Negara tidak boleh lagi kalah melawan penyakit yang sudah ada sejak zaman penjajahan,” pungkasnya.
Menuju Indonesia Bebas TBC 2030 (H-2)
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono, mengungkapkan Indonesia kini menghadapi situasi yang mendesak dalam pengendalian TBC.
“Posisi ini sebelumnya ditempati China. Namun mereka berhasil menurunkan angka kasus secara signifikan,” ujar Dante.
Dia menegaskan pentingnya pendekatan menyeluruh. Termasuk edukasi, skrining aktif, dan intervensi di tingkat keluarga.
“Kita ingin memutus mata rantai penularan di rumah tangga dan lingkungan terdekat,” jelasnya.
Salah satu strategi utama pemerintah adalah menurunkan kasus TBC nasional pada tahun 2030.
“Kita menargetkan penurunan 50% – 90% kasus TBC pada 2030. Pemerintah optimis target ini bisa dicapai dengan sinergi semua pihak,” terangnya.