Danantara mengelompokkan BUMN dengan lini bisnis sejenis untuk menciptakan skala ekonomi. Menghilangkan duplikasi. Meningkatkan efisiensi operasional.
Contohnya adalah integrasi BUMN di sektor pangan atau manufaktur. Integrasi ini diharapkan dapat menciptakan sinergi yang lebih besar.
Selain itu, Danantara juga gencar melakukan revitalisasi. Tidak hanya menyuntikkan modal. Tetapi juga melakukan perombakan manajemen yang signifikan.
Perbaikan tata kelola perusahaan yang transparan. Perumusan strategi bisnis yang lebih adaptif terhadap dinamika pasar.
Ini berarti melakukan divestasi atau penggabungan beberapa entitas BUMN yang sudah tidak efisien. Tujuannya efektivitas portofolio secara keseluruhan.
Tanpa entitas yang fokus pada restrukturisasi, kondisi beberapa BUMN mungkin akan semakin memburuk. Bahkan bisa jadi beban bagi negara.
“Kita memahami ini adalah pekerjaan jangka panjang. Tidak bisa instan. Yang terpenting adalah konsistensi dalam implementasi strategi dan dukungan penuh dari pemerintah,” lanjut Wafi.
Bukan hanya sekadar menata keuangan atau struktur organisasi. Tetapi juga membangun fondasi yang kokoh bagi BUMN.
Agar di masa depan, label ‘amburadul’ bisa diganti dengan efisien dan kompetitif.
Senada dengan pandangan tersebut, Kepala Riset dari PT Nusantara Kapital Sekuritas, Bramantyo Wijaya, turut mengamini prospek cerah Danantara.
“Temasek dan Khazanah cenderung berinvestasi pada perusahaan-perusahaan besar dan sektor-sektor tradisional. Danantara, di sisi lain, sangat gesit dalam mengidentifikasi peluang di sektor-sektor baru, teknologi disruptif, dan ekonomi berbasis komunitas,” terang Bramantyo.
Dia menegaskan kapasitas Danantara untuk menciptakan nilai bukan hanya dari investasi pasif.
Tetapi juga dari pengembangan ekosistem bisnis yang terintegrasi. Hal ini menjadikan Danantara pemain yang sangat unik dan disruptif di pasar investasi.
“Inilah keunggulan kompetitif yang membedakan Danantara dari model lembaga investasi konvensional,” imbuhnya.
Kekuatan Aset Strategis (H-4)