Potensi penyelewengan dana serta risiko lainnya memang tidak bisa diabaikan. Karena itu, Samirin menyarankan Danantara Indonesia harus berhati-hati dalam pemilihan investasi dan struktur organisasi di dalamnya.
“Risiko politisasi sangat besar. Dalam hal ini, Danantara harus benar-benar menjunjung tinggi merit system,” terangnya.
Penekanan pada merit system (sistem meritokrasi) adalah jaminan penempatan posisi didasarkan pada kompetensi dan kinerja. Bukan faktor politis.
Mendongkrak Aset dan Efisiensi BUMN (H-2)
Selain isu transparansi Samirin juga mengidentifikasi tiga tantangan utama yang menanti Danantara:
- Aset Bernilai Tinggi yang Tidak Produktif:
Banyak BUMN memiliki aset fisik yang nilainya sangat tinggi. Namun tidak dimanfaatkan secara optimal. Bahkan terbengkalai. Contoh kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Meskipun ikonik, namun belum mencapai potensi produktivitas ekonominya secara maksimal.
Tantangan Danantara adalah bagaimana mengidentifikasi aset-aset tidur ini dan mengubahnya menjadi mesin pencetak nilai ekonomi.
- BUMN Kurang Sehat, Butuh Restrukturisasi:
Beberapa BUMN berada dalam kondisi finansial kurang sehat. Bahkan memerlukan restrukturisasi segera. Kasus seperti Garuda Indonesia, BUMN Karya (konstruksi) dan BUMN Farmasi adalah contoh riil. Penanganan BUMN “sakit” dapat membebani keuangan Danantara di awal. Namun restrukturisasi yang berhasil akan menjadi kemenangan besar dan fondasi bagi pertumbuhan jangka panjang.
- Risiko Politisasi:
Ini adalah tantangan kronis yang sering membayangi BUMN. Penugasan dari pemerintah. Danantara harus cerdik dalam menyeimbangkan mandat sosial dengan prinsip investasi yang sehat.
Samirin menggambarkan peran Danantara secara menyeluruh sebagai sebuah holding company yang di bawahnya adalah BUMN-BUMN.
“Holding company memaksimalkan Enterprise Value. Yaitu meningkatkan return investasi dan mengurangi cost, yang pada saat yang bersamaan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai holding sesuai dengan visi-misinya,” jelas Samirin.